Namun belum sempat menekan tombol kirim, tiba-tiba kudengar suara ledakan dan kepala anakku berlobang dan berdarah. Sebelum jatuh tersungkur ke lantai, kulihat sebuah revolver menggelinding tepat di depanku. Dilemparkan seseorang.
Cat besi di gagang revolver itu terkelupas. Ada bayangan seperti lidi, kurus, dan tinggi, tapi berwarna hitam, keluar dari jendela. Ketika aku hendak mengejarnya aku terpeleset darah anakku dan jatuh membentur ujung meja. Pingsan.
Begitulah awal mula kami bertemu Ladrak menjelang lebaran. Kami selalu memaafkannya. Sebab semua manusia saling memaafkan setiap lebaran. Namun tentu saja aku tak akan pernah melupakan dosa-dosanya.
Aku selalu berdoa agar ia mati lebaran kali ini. Kalau pun tidak, ia telah berhenti melakukan kejahatan lantas masuk pesantren atau bertapa di pinggir kali atau di kuburan tua atau di dahan pohon akasia sambil berharap menjadi wali seperti Raden Sahid. Kembali ke fitri.
Malam lebaran. Seekor kunang-kunang melintas sendirian di atas kuburan. Sayup terdengar alunan takbir berkumandang. Hujan baru saja reda. Langit ditaburi kerlip bintang-bintang.
Kami, aku dan istriku, duduk di beranda. Bercakap-cakap sembari menikmati kuaci dan kurma. Mendadak istriku mengenang pertemuan kami dengan Ladrak.
Tapi itu setahun yang lalu. Tahun ini tak ada lagi kenangan tentang Ladrak. Sebab istriku kawin lari dengan Ladrak dan aku sendiri telah mati. Tepat di malam lebaran seperti ini. ***
Edy Firmansyah asal Pamekasan, Madura. Pengelola Komunitas Gemar Baca (KGB) Manifesco, Pamekasan. Karyanya berupa cerpen, puisi dan artikel tersebar di banyak media cetak maupun online, baik nasional dan lokal.