Pak Harto Tidak Pernah Mengubah UUD 1945
OLEH: NOOR JOHAN NUH
Tamzil ini diartikan berbeda oleh banyak tokoh termasuk koleganya sesama Angkatan 45 hingga mereka memprotes dan membentuk dengan apa yang dikenal dengan Petisi 50. Tentu mereka yang memaknai tamzil itu berbeda akan setuju dengan kekhawatiran Presiden Soeharto jika mereka sekarang merasakan betapa negeri ini mengalami kesemrawutan politik setelah UUD 1945 diubah secara ugal-ugalan.
Memang dalam UUD 1945 pasal 37, UUD ini dapat diubah dengan ketentuan yang sangat ketat seperti dirinci di penjelasan. Untuk menjaga agar UUD ini tidak diubah secara sembrono, dalam Sidang Umum MPR tahun 1983, dikeluarkan Ketetapan MPR No IV/MPR/1983 yang isinya; Harus dilakukan referendum terlebih dahulu jika ingin mengubah UUD 1945—harus ditanyakan terlebih dahulu pada rakyat. Sayang ketetapan MPR ini kemudian dibatalkan hingga UUD 1945 diubah di era reformasi.
Reformasi Mengubah UUD 1945
Perubahan UUD 1945 pada awalnya berdalih untuk membatasi jabatan presiden—padahal, untuk pembatasan jabatan presiden dapat dilakukan dengan membuat undang-undang kepresidenan atau Tap MPR. Perubahan batang tubuh UUD (tidak dengan adendum)—sama dengan membuat UUD baru.
UUD 1945 adalah hasil perenungan dan pemikiran bijak dan bajik para pendiri bangsa berpuluh tahun di tempat pembuangan di Boven Digoel, Ende, Banda Naere, dan di sel-sel sempit di penjara Banceuy, Sukamiskin, Cipinang, Glodok, Kalisosok, dan di penjara-penjara di Belanda.
Buah pikir genial yang menghasilkan mahakarya (master-piece)—yaitu “konstitusi” yang disusun dengan tingkat nalar prima oleh para pendiri bangsa (Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Prof. Dr. Mr. Supomo, Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, Mr. A.A. Maramis, KH Wahid Hasyim, dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Ahmad Soebardjo, Oto Iskandar Dinata, Ki Bagus Hadikusumo, dkk), sebagai patokan hukum dan politik tertinggi—sebagai monumen hukum dan politik yang menaungi Republik Indonesia.