Penunggang Angin Populisme
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi
SEJAK tujuh tahun lalu, atau sebelum itu, bumi di bawah langit nusantara ini sudah banyak yang bersalin rupa. Bukan hanya perkara penduduknya yang makin paham urusan teknologi informasi, tetapi juga berbagai ukur-ukuran sudah berubah. Paling aneh adalah berubahnya ukuran beragama.
Contohnya tante saya. Dialah yang mengajarkan saya ngaji dan sembahyang dulu. Ia bangga bukan alang-kepalang karena keponakan yang baru kelas satu SD ini pintarnya tidak ada bandingannya di tingkat kampung dalam perkara-perkara agama persis seperti yang ia ajarkannya. Tapi hari ini, anaknya, atau sepupu saya, berbahasa kepada saya “kami umat Islam”. Seakan saya, yang sudah belajar Islam sejak SD dan bahkan diajarkan langsung oleh ibunya, di matanya, bukan “umat Islam”. Itu hanya gegara dia dan saya berbeda pilihan dalam pemilu presiden yang lalu.
Jadi menjadi muslim atau bukan hari ini tergantung warna politik. Walau santri di enam pesantren hebat di Jawa Timur, tapi berseberangan secara politik dengan sepupu saya ini, dapat dipastikan sang santri ini tidak masuk jadi “umat Islam”. Hebat sekali memang sepupu saya ini, meski pengetahuan agamanya hanya ia pungut dari satu majelis ta’lim ke majelis ta’lim yang lain, tapi berani luar biasa mencoret atau memasukkan seseorang dalam kelompok “umat Islam”.
Akibatnya memang hebat, agar tidak dicoret oleh sepupu saya ini, orang-orang berbondong-bondong unjuk kesalehan di ruang publik. Seperti saya punya teman, yang dulu telah berusaha mengikuti cara beragama sesuai iklim saat itu yang penuh bahasa toleransi. Waktu itu ia terpikat dengan cerita model Islam inklusif, yang dalam bahasa sederhana, jika berislam mbok ya janganlah eksklusif: seakan di muka bumi ini hanya kita yang beragama, lainnya semua sejenis kucing dan ayam, yang tidak ada pandangan tentang agama. Karena cerita itu, teman ini mengajak teman-teman lain untuk mendamprat pengguna pengeras suara di masjid.