Penunggang Angin Populisme
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi
Hemat teman saya ini, orang-orang pengguna pengeras suara ini ibarat makhluk baru masuk kota. Mereka hanya bikin ribut dari tengah malam ke tengah malam berikutnya, “Itu kampungan, dan sungguh tidak toleran” katanya. Tapi belakangan ini teman saya ini berbalik total. Ia pun menjadi penyeru utama agar para “pendukung penista agama” tidak perlu disalatkan di masjid.
Lain lagi dengan teman seprofesi saya sebagai wartawan. Ia dulu tak acuh kepada urusan agama. Ketika teman-temannya merasa perlu memperjuangkan sebuah tempat jumatan di kantor baru, ia tengah-tengah giat-giatnya mengumpulkan mobil-mobil kuno. “Mobil VW antik ini adalah persoalan kalbu,” katanya kepada saya, bergurau. Ia ingin mengesankan, jumatan itu belum masuk kalbunya.
Sekarang teman ini sudah berubah seperti bumi dan langit. Ia memperkenalkan diri sebagai pemimpin teras organisasi perhimpunan alumni mobokrasi, yang dulu kumpul-kompol di Monas tersebut. Jika tampilannya dulu cukup dengan celana jeans belel dan kaos hitam butut, kini tampilannya bak ustaz kondang yang tengah ditunggu beribu-ribu jamaahnya.
Di mana pun bertemu, apakah di acara kondangan anak tetangga atau di acara hahalbihalal para perantau sekampungnya, selalu mengenakan jas yang ada berudrunya di luar, baju koko di dalam. Di puncak kepalanya yang sedikit peang, bertengger kopiah putih yang sering dikenakan imam-imam masjid yang alim. Tapi yang lebih seronok, di bahunya selalu tersampir selembar kain warna hijau, yang sejauh ini saya belum tahu persis fungsinya, apakah untuk berteduh di kala hari panas, atau untuk lap ingus ketika pilek. Tugas utamanya teman saya ini sekarang, membuat meme sebanyak mungkin. “Wahai umat Islam yang teraniaya, mari kita berjihad menghadapi rezim penguasa yang zalim ini,” serunya dalam meme yang dikirim ke sebuah grup. Misi mengirim meme ini harus dilaksanakan seperti orang minum obat, tiga kali sehari.