Bung Karno & Pak Harto (Bagian 5)
OLEH NOOR JOHAN NUH
Yang menyebut Supersemar perlu ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS agar tidak bisa dicabut oleh Presiden Soekarno, menurut penulis tidak beralasan. Karena, jika Bung Karno setelah mengeluarkan Supersemar merasa tidak nyaman dalam pelaksanaannya, dengan kekuasaan yang dimilikinya saat itu, dengan sangat mudah Presiden Soekarno dapat membatalkan atau menganulir Supersemar.
Meskipun dua tuntutan Tritura telah tercapai yaitu pembubaran PKI dan reshuffle kabinet, namun suhu politik terus meningkat akibat perekonomian tambah terpuruk hingga harga-harga kebutuhan pokok terus melambung naik, berdampak demo-demo yang dilakukan berbagai kesatuan aksi terus berlangsung.
Di tengah suasana ini mulai terdengar seruan-seruan keras yang meminta Pak Harto menjadi presiden menggantikan Bung Karno.
Sidang Istimewa MPRS
Menyikapi kemelut kebangsaan yang berkepanjangan saat itu, MPRS menganggap perlu untuk mengadakan Sidang Istimewa pada Maret 1967.
Sementara Sidang Istimewa berlangsung, tokoh-tokoh partai politik, nasional, dan tentara, meminta kesediaan Pak Harto untuk menjadi pimpinan tertinggi yaitu menjadi presiden menggantikan Bung Karno.
Derasnya desakan itu ditolak oleh Pak Harto. Sesuai dengan kesepakatan para Panglima Angkatan, adalah tetap mempertahankan Bung Karno sebagai presiden.
Pejabat Presiden tidak Mengucapkan Sumpah
Pimpinan MPRS yang diketuai Nasution melakukan konsultasi dengan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan Jenderal Soeharto.
Menyikapi situasi krisis berkepanjangan dan adanya dualisme pimpinan nasional, pada akhirnya dalam konsultasi itu disepakati bahwa Pak Harto akan menjadi pejabat presiden bukan sebagai presiden. Kesediaan Pak Harto itu setelah mendapat persetujuan para panglima angkatan.