Bung Karno & Pak Harto (Bagian 5)

OLEH NOOR JOHAN NUH

Maka dipersiapkan sebagai acara puncak sidang istimewa itu adalah pengucapan sumpah pejabat presiden, namun timbul masalah baru karena Pak Harto tidak bersedia mengucapkan sumpah sebagai Pejabat Presiden.

Dalam suasana akan menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, Pak Harto berargumen bahwa yang mengucapkan sumpah sesuai dengan UUD ‘45 pasal 9 adalah Presiden sebagai Mandataris MPR, bukan Pejabat Presiden.

Menyikapi penolakan itu, Nasution mengirim surat kepada Pak Harto yang isinya antara lain menyebutkan bahwa Pejabat Camat atau Pejabat Bupati saja harus disumpah sebelum memangku jabatannya, apalagi seorang Pejabat Presiden?

Pak Harto menjawab surat Nasution yang isinya tegas pada konsensus Orde Baru untuk melaksanakan UUD ‘45 secara murni dan konsekuen berikut ini;

Yang Terhormat Jenderal Nasution,

Surat Jenderal sudah saya terima, maka dengan ini saya mohon pengertian Jenderal dalam memberi bekal pada saya untuk melaksanakan tugas yang berat ini.

Saya tidak melihat suatu keharusan konstitusional mengenai pengambilan sumpah Pejabat Presiden, yang disumpah adalah Presiden dan Wakil Presiden, bukan mandatarisnya.

Kebijakan perlu diambil karena kita dalam masa pengembangan melaksanakan  UUD ‘45.

Sebelum Pemilu dilaksanakan, maka UUD ‘45 belum seratus persen dilaksanakan.

Sekian, terimakasih.

Hormat kami

S-Harto, 12-3-67

Nasution tidak dapat membantah argumen Pak Harto dalam surat itu, yakni sesuai dengan UUD ’45 pasal 9 yang mengucapkan sumpah adalah Presiden dan Wakil Presiden, bukan Pejabat Presiden.

Namun menjadi masalah besar bagi Nasution karena pengucapan sumpah itu telah diagendakan sebagai acara puncak  di Sidang Istimewa MPRS dan telah diumumkan  kepada seluruh yang hadir.  Tentu akan menjadi perdebatan berkepanjangan jika perubahan itu diberitahukan kepada seluruh anggota MPRS.

Lihat juga...