Gelombang Pasang Ganggu Budidaya Rumput Laut di Lamsel

Editor: Makmun Hidayat

Maidun, pembudidaya rumput laut spinosum memilih menjemur hasil panen dengan para para bambu memanfaatkan sinar matahari, Senin (1/6/ 2020). -Foto Henk Widi

Kerusakan rumput laut yang terlihat menurutnya dengan rumpun atau thalus yang patah. Dalam kondisi normal rumpun rumput laut tetap utuh sehingga mudah dipanen. Sebagian rumput laut yang patah imbas gelombang sebagian mengambang dan terdampar di pantai dalam kondisi patah. Pemanenan terpaksa dilakukan dengan alat penyerok agar kerugian panen bisa dimininalisir.

“Gelombang pasang, angin kencang dan banjir rob telah berlangsung sepekan kini telah reda tinggal melakukan proses penyulaman,” beber Maidun.

Imbas cuaca buruk di perairan timur Lamsel dirasakan juga oleh Juarsih, pembudidaya rumput laut di lokasi yang sama. Saat cuaca buruk ia menyebut rumput laut miliknya telah memasuki masa jelang panen. Usai cuaca mulai mereda pemanenan dilakukan dengan menghasilkan hasil panen sekitar dua kuintal.

Rumput laut spinosum yang dibudidayakan menerapkan pola produksi berkelanjutan. Saat panen ia tetap menyisakan sekitar puluhan jalur tambang untuk penyediaan bibit. Sebagai salah satu subsektor perikanan budidaya ia telah mampu menyediakan bibit swadaya tanpa harus membeli. Namun tiga tahun sebelumnya bibit harus didatangkan dari wilayah Serang, Banten.

“Saat kondisi angin kencang dan gelombang tinggi harus rutin mengecek kondisi tonggak dan jalur sehingga kerusakan bisa diminimalisir,” terang Juarsih.

Membutuhkan bibit sekitar lima kuintal untuk ratusan jalur ia bisa berhemat Rp500.000. Sebab harga bibit per kilogram mencapai Rp1.000 dari pembudidaya lain. Satu kilogram rumput laut kering yang telah selesai dijemur menurut Juarsih dijual seharga Rp10.000. Perlima kuinyal rumput laut kering ia bisa mendapat hasil Rp5juta. Hasil tersebut cukup menguntungkan saat masa pandemi Covid-19.

Lihat juga...