Nyai Ontosoroh dan Nyai Dasima
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi
DARI sekian nyai yang terkenal maka hanya dua nyai yang paling kontroversial: Nyai Ontosoroh dan Nyai Dasima. Keduanya korban kerakusan orang tuanya, yang dijual kepada tuan Eropa agar naik kelas sosialnya. Bedanya, Nyai Ontosoroh memiliki tujuan hidup, tapi Nyai Dasima tidak ada tujuan apa pun kecuali bisa hidup.
Nyai Ontosoroh dihidupkan dari gagasan seorang anak Indonesia yang telah terdidik dan sangat membenci penindasan oleh penjajah. Nyai Ontosoroh berkiprah degan gagahnya di era awal sejarah kesadaran nasional. Sementara, Nyai Dasima dihidupkan oleh para “tukang cerite” (sastra lisan atau teater tutur) untuk sekadar menarik bagi telinga rakyat biasa di Batavia kala itu. Dan, kapan sesungguhnya Nyai Dasima hidup untuk menanggung tragedinya, tidak ada yang jelas. Hanya untuk meyakinkan, ketokohan Nyai ini dikaitkan dengan sejumlah situs sebagai fakta: ada rumah suaminya, ada nama jembatan dan ada kampung namanya Kwitang.
Nyai Dasima, melalui jalan berlumpur, menurut tukang cerite, datang ke Batavia dari Ciseeng, Bogor, sekitar tahun 1811-1816, kala tuan Stamford Raffles bercokol di tanah Jawa sebagai penguasa nomor satu tanpa tanding. Tapi ada yang bilang, Nyai Dasima berkibar sebagai gundik menawan Tuan Edward William, yang rumahnya persis di belakang Gereja Emmanuel yang di depan Stasiun Gambir sekarang.
“Tukang Cerite”, tetangganya si Pitung ini, mungkin ingin mengatakan, Nyai Dasima ini hidup setelah berdiri Gereja Emmanuel. Sedangkan Gereja Emmanuel sendiri diresmikan pada 24 Agustus 1839. Jadi Nyai Dasima hadir bukan pada zaman Inggris menguasai Jawa, tapi jauh setelah itu. Tidak masalah dengan semua itu karena semua memang tindak penting. Toh, namanya saja legenda. Walau pun Yahya Andi Syahputra, budayawan asli Betawi, meyakini Nyai Dasima pernah lahir ke muka bumi dan sempat menginjakkan kaki di depan rumah leluhurnya di masa lalu, tapi tokoh Nyai Dasima tetap saja legenda.