Nyai Ontosoroh dan Nyai Dasima
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi
Ayahnya, M Toer, dari keluarga bupati Kediri, orang Jawa asli dengan kebudayaan Jawa tapi terdidik secara Barat. Ia tokoh sosial politik berhaluan nasionalis kiri, yang sangat membenci penjajah. Tidak seperti ibunya, ayahnya berasal dari Islam pedalaman. Kedua orang itu bisa bersatu karena terikat oleh sikap nasionalistis dan patriotise yang membaja. Keluarga Toer hidup dekat komunitas Samin, yang juga tidak pernah mau takluk kepada penjajahan dan sistemnya.
Ayah dan ibunya mendidik Pramoedya menjadi orang bebas, yang tidak mengarahkannya jadi pegawai pemerintahan. Karena serba kekurangan, ibunya bekerja tambahan untuk membantu suaminya, mencukupi keluarga besar mereka. Tetapi betapa pun keras usahanya, tenaga ibunya tetap terbatas dan tidak memadai. Pramoedya menyaksikan itu semua, dan ia sangat sedih dan prihatin kepada ibunya.
Soal ekonomi rumah tangga inilah yang menjadi pokok persoalan dan kemudian berkembangan menjadi pertengkaran berlarut-larut antara ibu dan ayahnya. Dalam hal itu, Pramoedya dengan terus-terang memihak ibunya. Sikap Pram yang memihak ibunya inilah membuat ayahnya membenci Pram. Kebencian yang tidak surut. Ayahnya tidak pernah menganggap Pram anak pandai, dan karena dianggap bodoh, ayahnya tidak mau menyekolahnya lebih lanjut. Dalam perjalanan, memang Pram berkembang karena sejumlah kursus dan minat bacanya yang sangat kuat.
Dalam roman Pulau Buru, ia menciptakan Minke, mungkin sebagai alter egonya juga, dan Nyai Ontosoroh ejawantah ibunya yang intuitif, tidak kenal takut, dan patriotis. Kedua orang ini menjadi tokoh-tokoh protagonis yang selalu berusaha mencapai cita-citanya. Mereka berdua secara tegas sangat menentang ketidakadilan.