Nyai Ontosoroh dan Nyai Dasima
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi
Sikap keras kedua orang ini memperjuangkan keadilan, membuat banyak pengamat yang salah duga. Seakan, dengan roman Pulau Buru itu, Pramoedya sedang mengungkapkan teori-teori ajaran Marxisme. Ia, ungkap seorang pengamat, dengan sengaja mempertentangkan dua kelas golongan. Penguasa, penindas, dan penjajah pada satu pihak, bertentangan dengan yang dikuasai, yang ditindas dan yang dijajah pada lain pihak.
Tapi pandangan itu dibantah oleh Koh Young Hun, yang disebutkan, usaha-usaha Minke dan Nyai tidak ada hubungan dengan persoalan kelas. Tokoh Minke dan Nyai berjuang semata-mata untuk kepentingan hak pribumi dan kebangkitan nasional. “ Bukan berjuang untuk mendirikan pemerintahan diktator proletariat,” imbuh Koh.
Minke, yang sedang mencari bentuk dirinya, bertemu dengan Nyai dan sejak itu ia mendapat perlindungan dan dukungan dari Nyai. Minke akhirnya besar dan terbentuk karena Nyai yang selalu menggunakan bahasa Melayu dan menolak penggunaan Bahasa Jawa. Maka Minke pun selalu menggunakan bahasa Melayu dan menolak bahasa Jawa. Minke, yang terinspirasi Nyai, mengungkapkan rasa kecewanya terhadap tradisi dan warisan budaya Jawa yang menjadi hambatan bagi kemajuan bangsa sendiri.
Itu sebabnya juga, Minke menolak klaim, Boedi Oetomo (1908) sebagai organisasi pribumi yang modern dan pertama yang bersemangat nasional. Minke tidak sepakat BO sebagai organisasi modern pribumi pertama, tapi BO ini tidak lain adalah organisasi priyayi Jawa, yang lebih banyak mengabdi untuk kepentingan kesinambungan kekuasaan penjajah. Tapi Syarikat Dagang Islam (1909), yang dirintis sendiri oleh Minke yang justru patut disebut organisasi modern pribumi yang bercorak nasional. Dari segi wawasan dan semangat, SDI jauh lebih maju dari BO karena SDI menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia sekarang), dan keanggotaannya tidak terbatas pada suku Jawa dan Madura saja. Tapi meluas ke suku Padang, Sulawesi, Sunda, dan lainnya.