Nyai Ontosoroh dan Nyai Dasima
Catatan Ringan Akhir Pekan T. Taufiqulhadi
Memang kedua Nyai di sini menjadi korban kerakusan ayah mereka. Hanya bedanya, jika Nyai Dasima menerima saja permainan nasib, dan hanya bisa lari dari tuannya yang berkebangsaan Inggris kepada Samiun yang pribumi, tapi Nyai ini tetap tidak berdaya. Ia kemudian mati dibunuh dan dibuang ke kali Kwitang. Sebaliknya Nyai Ontosoroh justru membalikkan keadaan, dengan memanfaat kerakusan sang ayah dan nafsu penindasan Tuan Mellema untuk memperbaiki nasibnya dan nasib bangsanya.
Nyai Ontosoroh tidak menolak Eropa. Karena Nyai menyadari asing lebih maju. Maka ia menyerap semua ilmu asing agar cerdas dan kemudian ingin berdiri sama tegaknya dengan penjajah. Ia cerdas menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Melayu, dan di pengadilan, ketika membela Annelies, anak asuhnya yang lain, ia menggunakan kedua bahasa tersebut dengan jelas dan tegar.
Nyai Ontosoroh berhasil melawan ketidakadilan dengan pendidikan, dan dengan pendidikan itu ia mendorong kemajuan generasi muda,seperti Minke dan Annelies, agar mereka bisa berdiri sama tegak dengan bangsa mana pun. Maka dapat disebutkan, Nyai Ontosoroh, yang semula hanya seorang Sanikem yang bersahaja, berhasil membangkitkan citra perempuan Indonesia yang bangkit apabila ditindas oleh ketidakadilan sistem penjajahan.
Tidak seperti Nyai Dasima yang hilang dalam Sungai Kwitang, Nyai Ontosoroh tidak pernah mati dan tidak pernah hilang dalam sungai atau rimba mana pun. Ia hidup terus dalam jiwa setiap perempuan Indonesia yang selalu berjuang untuk melawan sistem apa pun yang menindas. ***
Pejabaten Barat, 28 Juli 2022