Pendapatan Petani Garam Tradisional di Sikka, Menurun
Editor: Makmun Hidayat
MAUMERE — Pekerjaan memasak garam secara tradisional hingga kini masih dilakoni para petani garam di Kampung Garam dan Tambak Garam di Kelurahan Kota Uneng Kecamatan Alok Kota Maumere Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dampak pandemi corona membuat petani garam tradisional di wilayah ini kesulitan mendapatkan garam kasar yang dipergunakan untuk diolah menjadi garam halus untuk bisa dijual kembali.
“Garam kasar stok susah karena harus didatangkan dari Kaburea, Kabupaten Nagekeo karena mobil yang biasa mengantarnya harus mengurus izin dan surat jalan dahulu,” ungkap Petrus Blasius, petani garam di Kota Uneng Kota Maumere, Senin (8/6/2020).
Petrus mengatakan, mobil pengangkut garam kasar bisa satu hingga dua minggu baru datang ke Maumere. Ini yang membuat petani garam kesulitan bahan baku dan tidak bisa memesan banyak karena penjualan juga menurun.
Dia akui setelah pandemi corona menyebar, pendapatan petani garam tradisional menurun tetapi pihaknya tetap mengolah garam karena sudah menjadi pekerjaan turun temurun.
“Kami tetap masak garam setiap hari meski penjualan yang biasanya sehari bisa laku 100 kilogram kini hanya terjual 50 kilogram saja. Pendapatan juga menurun dari Rp400 ribu menurun hingga tersisa hanya Rp100 ribu saja,” tuturnya.
Pendapatan yang diperoleh sebut Petrus hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sementara untuk membiayai anak sekolah atau ditabung sulit dilakukan.
Hingga saat ini bebernya, hanya tersisa 9 kepala keluarga saja yang masih bertahan dan menggantungkan hidupnya sebagai pemasak garam secara tradisional.
“Kalau kayu bakar masih mudah diperoleh termasuk sabuk dan batok kelapa yang dipesan dari Nangahrure, sebelah barat kota Maumere. Harga satu pick up Rp150 ribu dan belum mengalami kenaikan harga,” ungkapnya.