Pengungsi Rohingya Enggan Diuji COVID-19 Karena Takut Diisolasi

BANGKOK/DHAKA — Pengungsi Rohingya di Bangladesh yang memiliki gejala virus corona enggan menjalani tes karena mereka takut berpisah dengan keluarga dan diisolasi, kata pemimpin masyarakat dan pekerja bantuan.

Tiga pemimpin Rohingya yang diwawancara oleh Reuters mengatakan gejala COVID-19 telah lazim di kamp-kamp yang terbentang di perbukitan dekat perbatasan dengan Myanmar.

Sementara beberapa pengungsi di kamp-kamp itu memiliki gejala seperti demam, batuk kering, dan masuk angin pada awal musim hujan, banyak yang menduga itu adalah virus korona.

“Mereka tidak ingin diuji,” kata seorang pengungsi, Nurul Amin.

“Kami sangat takut. Atas karunia Allah, kami baik-baik saja sejauh ini, tetapi berapa lama kami bisa bertahan?” ujar dia.

Kamp-kamp yang padat dengan sanitasi buruk membuat jarak sosial tidak mungkin dilakukan.

Hanya satu kematian dari akibat COVID-19 yang tercatat di kamp-kamp yang terletak di tenggara Bangladesh, tempat sekitar 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri pada 2017 untuk menghindari tindakan keras militer di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.

Tetapi pekerja bantuan khawatir virus corona mungkin menyebar lebih cepat di penampungan pengungsi terbesar dunia, daripada hanya 29 kasus yang tercatat sejak pertengahan Mei.

Hanya 339 tes telah dilakukan di kamp, kata para pejabat, sebagian karena orang tidak pergi ke fasilitas kesehatan untuk diperiksa.

“Rumah sakit di kamp kosong dan toko-toko dokter ilegal penuh,” kata Mujef Khan, pengungsi berusia 23 tahun yang mengorganisasi komunitas.

Ia merujuk pada apotek di kamp-kamp yang dikelola oleh pengungsi, tempat orang membeli pil untuk mengobati diri mereka sendiri.

Lihat juga...