Rasi Scorpius dalam Pranata Mangsa Budaya Jawa
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Mangsa kalima ini masuk ke dalam masa transisi antara musim kemarau ke musim hujan. Secara normal, dulu di Indonesia, musim penghujan memang jatuhnya di sekitar September dan Oktober,” ujar Widya.
Berdasarkan mitologi, keberadaan Lintang Banyak Angrem tak bisa dipisahkan dari legenda Dewi Basundari yang bertemu dengan Dewa Wrahaspati.
“Basundari merupakan simbol Bumi dan Wrahaspati mengacu pada Jupiter, sehingga titik temunya dalam astronomi disebut equinox, yaitu titik temu ekuator langit dengan ekliptika atau jalur edar semu matahari. Tapi sekarang, titik temu ini terjadi di rasi Pisces,” ungkap Widya.
Perubahan titik pertemuan ini akibat adanya presesi atau perubahan sumbu rotasi putar Bumi. Dan jika dihitung dengan hitungan presesi Bumi, maka titik equinox Scorpius ini terjadi sekitar 18 ribu tahun SM.
“Sehingga saya yakin, nenek moyang masyarakat di Jawa sudah mengenal ilmu perbintangan sejak lama dan mengaplikasikannya sebagai penanda dalam kehidupannya sehari-hari,” tandasnya.
Staf Astronomi POJ, Roni Symara, menyebutkan dalam Rasi Scorpius ada 9 bintang lainnya, dengan keterangan yang memudahkan untuk pengamatan di malam hari.

“Ada Beta Scorpi, Dshuba, Sargas, Shaula, Jabbah, Girtab, Iclil, Alniyat dan Lesath,” kata Roni menjelaskan.
Pada bulan Juli hingga Agustus, Rasi Bintang Scorpius ada di atas langit Indonesia pada pukul 20.00 hingga 21.00 WIB. Posisinya dekat dengan kepala manusia.