Trinitas Versus Monotheisme di Era Ibrahim Alaihissalam
OLEH HASANUDDIN
Adalah wajar jika perhatian kepada dewa langit itu intens, termasuk Aazar dan keluarganya, di dalamnya termasuk Ibrahim, putra dari Aazar.
Ulasan singkat ini menjelaskan kenapa Al Qur’an Surah Al-An’am 75 di atas bercerita tentang siapa sesungguhnya Penguasa di langit. Ini erat kaitannya dengan emosi religi dari Ibrahim yang selalu “terganggu” karena rasionalitasnya tidak menerima konsep ketuhanan yang berkembang saat itu, termasuk yang dianut oleh bapaknya sendiri, Aazar. Kita liat emosi religi Ibrahim yang disampaikan kepada bapaknya atas kegundahan yang dialaminya pada ayat 74 di surah Al-An’am, berikut;
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ ءَازَرَ أَتَتَّخِذُ أَصۡنَامًا ءَالِهَةً إِنِّىٓ أَرَىٰكَ وَقَوۡمَكَ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”.
Suatu bentuk pernyataan yang terasa sudah tidak ada tata krama terhadap orang tuanya, namun kita mesti memahaminya sebagai bentuk ungkapan emosi keagamaan. Emosi keagamaan itu sesuatu yang sublim, mendalam, jauh lebih kuat daripada emosi yang disebabkan oleh hal lain. Sebuah pelajaran, agar tidak bermain-main dengan emosi keagamaan.
Selanjutnya pada ayat ke 76-78 kita memperoleh informasi, bahwa penolakan Ibrahim atas konsep ketuhanan yang dianut masyarakat di eranya itu, membuatnya melakukan pencarian makna ketuhanan yang sesungguhnya, yang sesuai rasionalitasnya. Maka Ibrahim melakukan pengamatan terhadap benda-benda langit yang dalam tradisi saat itu disembah sebagai tuhan.