Baik-Buruknya Demokrasi, Pelajaran dari Perang Uhud
OLEH HASANUDDIN
KETIKA terdengar kabar bahwa kaum musyrikin Makkah, telah mengumpulkan kekuatan besar pasukan, persenjataan dan perbekalan yang diperoleh melalui hasil perdagangan riba, Rasulullah mengumpulkan tokoh-tokoh utama dari pengikutnya, dan menyampaikan strategi perang yang akan diterapkannya untuk menghadapi mereka.
Dalam pertemuan itu, Rasulullah menyampaikan bahwa karena jumlah mereka (kaum musyrikin) jauh lebih besar (sekitar 10.000 ribu pasukan), di bawah pimpinan Abu Sufyan. Sementara pengikut Nabi yang dapat disertakan dalam peperangan tersebut hanya sekitar 1000 orang, maka Nabi memutuskan untuk menerapkan strategi bertahan.
Setelah itu, sesuai dengan firman Allah bahwa urusan dunia hendaknya dimusyawarahkan, lalu Nabi meminta pertimbangan dari para hadirin yang mengikuti pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, umumnya menyampaikan pendapat yang berbeda dengan Nabi, yaitu mereka memilih taktik menyerang. Maka diputuskanlah strategi penyerangan sebagaimana pendapat mayoritas yang berkembang di rapat itu.
Demikianlah Nabi menjalankan perintah Allah bahwa dalam urusan dunia, musyawarahkanlah diantara kalian. (Surah Asyura ayat 38, Ali Imran 159).
Singkat cerita, disiapkanlah rencana penyergapan di luar kota Madinah, tepatnya di sekitar Gunung Uhud.
Jumlah pasukan Nabi yang awalnya hampir mencapai 1000 orang saat jelang keberangkan, menyusut. Sekelompok kaum munafik (disebut munafik karena keluar, tidak patuh terhadap kesepakatan), di bawah pimpinan Abdullah Abu Ubayy menarik diri bersama tiga ratusan pasukannya. Berangkatlah Nabi dan pasukannya ke medan pertempuran dengan jumlah hanya berkisar 700 orang.