Presiden Soeharto (7): Serangan Umum 1 Maret 1949 Seri-1
Bulan November 1948, perundingan Indonesia-Belanda terus berjalan. Menteri Luar Negeri Belanda D.U. Stiker sendiri datang di Ibukota Republik Indonesia Yogyakarta dan berunding dengan Bung Hatta di Kaliurang.
Stiker menghendaki “Wakil Tinggi Kerajaan Belanda di dalam Negeri Federal sementara, selama masa peralihan harus mempunyai kekuasaan penuh.” Tentu saja Bung Hatta yang didukung Bung Karno dan Jenderal Sudirman, menolak campur tangan Belanda dalam urusan interen Republik itu.
Belanda terus menuduh pihak Indonesia melanggar gencatan senjata. Sedangkan menurut pihak Indonesia, justru Belandalah yang terus-menerus melanggar kesepakatan. Perutusan Belanda itu akhirnya kembali ke negerinya setelah perundingan dengan pihak RI menemui jalan buntu.
Tanggal 11 Desember 1948, delegasi Belanda mengirimkan nota kepada Komisi Tiga Negara, yang menyatakan bahwa Belanda tidak mungkin berunding dengan RI. Belanda akan membentuk pemerintahan interim di Indonesia. Sementara itu, Wakil RI di PBB, L.N Palar, mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menempatkan lagi soal perselisihan Indonesia-Belanda dalam agenda PBB.
*
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda secara mendadak menyerang Yogyakarta melewati lapangan terbang Maguwo yang akhirnya bisa masuk ke Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dengan mudah. Itulah Agresi Belanda ke-2.
Pasukan pejuang RI disiapkan di luar kota untuk menghadang masuknya tentara Belanda dari jalur darat. Sementara Ibukota Yogyakarta dikendalikan Komando Militer Kota atau KMK yang langsung berada di bawah MBAD atau Markas Besar Angkatan Darat. Komandan KMK adalah Letkol Latief Hendraningrat yang pada tanggal 17 Agustus 1945 mengerek bendera Merah Putih di Gedung Proklamasi, di Pegangsaan Timur, Jakarta.