Sang Santo yang Terbunuh di Aceh

CATATAN RINGAN T. TAUFIQULHADI

T. Taufiqulhadi (CDN/Istimewa)

SEORANG pemuda Prancis, Pierre Berthelot, bekerja pada raja Portugis pada 1620 untuk  mendukung misi kerajaan itu di Nusantara tetapi terbunuh di Aceh pada 1638 dan dikuduskan di Roma.

Era Berthelot dikenal di Eropa sebagai era pencarian “daerah baru” menyusul jatuhnya kerajaan Islam terakhir di Spanyol, Granada, pada 1492. Granada, yang kacau dari dalam, ditaklukkan dengan mudah oleh sepasang suami-istri kerajaan, Ferdinand (Fernando II) dari Aragon dan Isabel dari Kastila. Perkawinan itu mempersatukan Spanyol, yang sebelumnya terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang tak berarti. Spanyol yang bersatu dengan mudah menekan Kerajaan Islam Granada, dan mengusir Sultan Muhammad, yang tidak cakap, ke Afrika Utara. Semua penganut Islam di Spanyol, yang  disebut kaum Moor, juga terusir.

Pasca pengusiran sultan Granada terakhir itu, dikenal sebagai sebagai tahun-tahun pembunuhan (inkuisisi) dan pengusiran kaum Moor. Bersamaan dengan itu, Moor pun  punya makna baru: pernah menetap di Eropa, terusir dan terlunta-lunta. Moor dan “Sarasen”, karena sama-sama Islam,  oleh orang Kristen Eropa digunakan secara bergantian, adakalanya Moor dan adakalanya Sarasen. Jika Moor pernah menetap di Eropa, maka Sarasen maknanya adalah barbar, penipu dan tidak pernah menetap di Eropa.

Kedua identitas itu harus diburu dan ditaklukkan. Ferdinand dan Isabel membiaya dengan sepenuh jiwa untuk memburu Moor dan Sarasen, yang kini telah melarikan diri. Perburuan itulah yang disebut “upaya penemuan daerah baru”. Orang-orang yang ditemukan di daerah baru itu pastilah kaum Sarasen karenanya  harus dicerahkan. Maka tidak heran jika dalam rombongan para pencari daerah baru tersebut banyak bergabung para rahib.

Lihat juga...