Sang Santo yang Terbunuh di Aceh

CATATAN RINGAN T. TAUFIQULHADI

T. Taufiqulhadi (CDN/Istimewa)

Akibatnya, Beaulieu hanya mampu memilih sedikit saja yang sesuai persyaratan sultan: dia dan lima anak buahnya. Sisanya tidak bisa disertakan karena selain tetap bau, juga tidak punya adab. Meskipun demikian, sesampai di istana, Beaulieu saja yang bertemu sultan. Lima lainnya tetap di luar tapi dalam komplek istana.

Dulu, kakeknya, Sultan Alaidin menemui utusan Belanda di halaman istana. Ia duduk di singgasana, dengan dikelilingi oleh para pengawalnya yang semua perempuan dengan bersenjata panah dan bedil sundut. Sementara para tamu itu diminta duduk di atas karpet Turki 15 meter jaraknya. Kendati duduk di atas karpet indah, tetapi tak terbayangkan bagaimana menderitanya orang-orang  yang bertungkai panjang ini harus duduk ngelosor.

Sultan Alaidin  ini naik tahta setelah sultan sebelumnya, Ali Ri’ayat Syah yang juga disebut Raja Buyung tewas dibunuh oleh seorang panglimanya pada 28 Juni 1589. Ia tewas sedang bersiap menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Semula orang tua ini menolak jadi sultan dan lebih senang tetap menjadi nelayan. Tapi setelah ditawar hingga tiga kali, kakek Iskandar Muda dari pihak ibunya ini, akhirnya bersedia. Hanya tidak mau mengalami nasib nahas seperti pendahulunya, sultan tua ini menata kembali keamanan dalam istana. Ia menyingkirkan semua pengawal istana yang laki-laki dan diganti dengan perempuan. Demikian juga di ketentaraan, ia mengangkat laksamana seorang perempuan. Dengan demikian, masa pemerintahannya berlangsung selama 15 tahun, dan ia mangkat secara wajar karena usia  tua.

Ketika Beaulieu tiba di istana Iskandar Muda, peninggalan Sultan Alaidin Riayat Syah masih kenal. Istana berada dalam pengawasan ketat pasukan perempuan yang cekatan dan sangat awas. Para “Orang Kaya” (mungkin hulubalang) dan tamu-tamu lainnya yang ingin menghadap sultan, tidak diperkenankan membawa senjata. Mereka semua diperiksa secara ketat oleh penjaga istana yang perempuan ini.

Lihat juga...