Teknologi Nano dan Urgensi Ajaran Sufistik di Era Modernitas
OLEH HASANUDDIN
PERKEMBANGAN biomolekuler, menyertai kemajuan di bidang nano teknologi suatu pencapaian yang fantastik dalam peradaban modernitas. Nano yang berarti sepermiliar itu, adalah suatu kemampuan untuk mengetahui benda-benda materi yang sangat kecil.
Dengan kemampuan teknologi nano, para saintis dapat mengubah struktur materi semau yang diinginkan. Bukan saja untuk keperluan bagi kemajuan di bidang kesehatan, pertanian, senjata biologis, tapi apa saja yang dikehendaki dapat diciptakan melalui rekayasa materi.
Secara teoretis, manusia memang memiliki kesadaran untuk survive jauh lebih tinggi di atas hewan-hewan karena penguasaannya akan pengetahuan. Dengan pengetahuannya, manusia dimungkinkan untuk menciptakan aneka macam teknologi dalam rangka mengeksplorasi alam semesta. Di sisi lain, sains tidaklah mampu menyediakan bagi dirinya dan teknologi yang dihasilkannya nilai dan kebermaknaan. Nilai dan kebermaknaan dari sains, sepenuhnya ditentukan oleh manusia yang mengendalikan sains dan produk teknologi yang dihasilkannya.
Di sinilah relevansinya kita membutuhkan manusia yang tidak saja cerdas secara intelligence, namun juga mesti cerdas secara emotional, maupun spiritual. Dan tiga model kecerdasan tersebut tidak bisa diharapkan dari ajaran etik yang “biasa-biasa” saja. Tidak cukup dengan mengakui telah ber-Tuhan, namun hanya bermodalkan pelaksanaan ritual dasar yang diajarkan pada level “kulit luar” dari agama. Tidak cukup dengan penampakan lahiriah yang ditempelkan pada seseorang melalui gelar-gelar formalistik seperti kebanyakan tradisi dalam masyarakat abad pertengahan, hingga dewasa ini. Apalagi jika bertumpu pada irasionalitas dari suatu paham yang diperoleh secara instan melalui doktrin-doktrin ideologis yang dengan mudah ditemukan pada setiap agama, baik agama tradisional, maupun agama produk sains modern.