Hikayat Tari Amba Nitis Sewu
CERPEN IDNAS ARAL
DAHULU kala, di zaman setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, hidup seorang raja lalim yang setiap tahun menggelar sayembara menari. Sayembara itu harus diikuti seluruh padepokan seni yang berada di wilayah kerajaannya.
Bagi padepokan yang tidak mengirimkan penari terbaiknya, pemimpinnya akan dihukum berat dan padepokannya dibubarkan.
Ki Ponco termangu resah memikirkannya. Satu purnama lagi sayembara tari kerajaan akan digelar. Padepokannya terlalu terkenal untuk tak turut mengirim penari terbaiknya.
Tetapi ia tidak rela jika Ning sampai terpilih sebagai yang terbaik karena artinya anak semata wayangnya itu akan diselir oleh raja.
“Romo, malam yang begini tentram, kenapa wajah Romo begitu suram?” suara lembut Ning menyapa keresahan Ki Ponco.
Ki Ponco menatap wajah ayu anaknya dan kesedihannya justru semakin menjadi.
“Nduk ayu, maafkan Romo, Nduk,” kata ki Ponco berbarengan air mata yang menetes dari matanya.
“Kenapa Romo menangis?”
“Romo tidak tahu harus bagaimana lagi, Nduk. Sebentar lagi sayembara tari kerajaan digelar dan semua orang sudah terlanjur tahu bahwa kamulah penari terbaik dari padepokan ini. Kita pasti dianggap melawan kerajaan jika tidak mengajukanmu, Nduk.”
Sebenarnya, sudah sejak Raja baru itu naik tahta, Ki Ponco berharap agar Ning tidak menjadi penari. Tetapi darah penari terlanjur mengalir di nadinya. Bakat dan kecintaan Ning pada tari terus tumbuh seiring usia.
Ki Ponco tak tega lagi untuk menghalangi keinginan Ning yang sejatinya bukanlah hal yang nista itu. Terlebih Ning yang saat itu baru berumur 6 tahun pernah berkata, “Romo, saat saya njoget, saya merasa sedang ditimang Ibu.”