Hikayat Tari Amba Nitis Sewu
CERPEN IDNAS ARAL
Ki Ponco mahfum, anaknya mengisi kekosongan sosok ibu yang meninggal saat melahirkannya itu dengan menari seperti ibunya.
Seandainya Ning hidup di masa raja sebelumnya, bakat dan kecintaan yang diasah dengan keseriusan latihan, tentu membuahkan keadaan yang baik dan nilai yang tinggi untuknya, baik sebagai manusia atau sebagai perempuan.
Penguasa sebelumnya meletakkan penari di tempat yang tinggi.
“Penari adalah empu keindahan yang menggambarkan nilai-nilai agung negeri. Keindahan wujud dari manembah (menyembah) kepada Sang Hyang Widhi, juga keindahan yang turut membangun keselarasan penduduk kerajaan. Harmonis kepada alam dan sesama manusia,” demikian raja terdahulu itu pernah bersabda.
Sungguh malang nasib Ning, berlian terbaik yang hidup di masa pemimpin yang buta nilai. Penari hanya dipandang sebagai hiburan dan tontonan berahi belaka. Pagelaran tari memang tetap rutin digelar tetapi nilainya anjlok menjadi sekedar hajat syahwat kerajaan.
Sungguh malang nasib negeri dimana rajanya tak tahu nilai. Rakyat pun mencontoh penguasanya. Mereka turut meletakkan kesenian secara sembarangan dan berimbas pada padepokan-padepokan yang kemudian terpaksa menciptakan tari-tarian untuk menuruti selera kebanyakan.
“Romo, apakah waktu satu bulan cukup untuk saya belajar Tari Amba Nitis Sewu?” kali ini Ning memberanikan menatap mata ayahnya untuk menunjukkan kebulatan tekadnya.
“Oalah, Nduk, dari mana kamu tahu soal itu? Buang jauh-jauh pikiran semacam itu, bahaya!”
“Romo, bukan hanya Romo yang gelisah akhir-akhir ini. Saya pun resah jika kembali teringat kepada hari di mana saya harus menari untuk tujuan yang tidak saya kehendaki. Kemarin saya menangis dan mengadu pada kubur Ibu. Saya jatuh tertidur di pundennya. Kemudian saya bermimpi bertemu Ibu, beliau mengisahkan tari Amba Nitis Sewu. Romo, bukankah itu petunjuk dari Sang Hyang Widhi untuk kesusahan kita ini? Saya mohon, Romo, saya tidak mau menjadi selir Raja, saya tidak mau Romo dihukum, dan saya tidak mau ada lagi penari yang diperlakukan tidak layak begini.”