Hikayat Tari Amba Nitis Sewu
CERPEN IDNAS ARAL
Gamelan mulai merambat.
“Ting…tong..ting…tung Ting…tong…ting….tung….”
Susunan tiga nada berulang memecah kesunyian. Ning menegakkan kepala dan membuka mata. Langsung menghunus tepat ke mata raja. Ada yang melesat dari sorot matanya, tubuh raja terhempas ke belakang seperti didorong hingga punggung menekan sandaran singgasana. Napasnya jadi tak karuan, ada semacam kekuatan yang meringsek perasaan.
Jiwa Ning telah lebur dengan tembang yang dirapal dalam batin. Tubuhnya bergerak mengungkap dinamika kemanunggalan itu. Matanya tak pernah lepas dari mata raja yang telah ia tawan. Bunyi gamelan menyelubungi peristiwa massal yang berpusat pada satu, tubuh Ning. Lalu…
Seribu orang di sekitar Ning terbawa suasana, mereka kerasukan dan tanpa aba-aba mereka raih segala benda berujung lancip terdekat. Siapa saja, punggawa, penonton, perempuan, laki-laki, tua, muda, dewasa, anak-anak, sekitar seribu jumlahnya, seakan menjelma seribu anak panah Srikandi dimana Amba menitis.
Irama tari semakin menegang, seperti busur yang direntang. Pada puncak ketegangan itu Ning menahan gerak dan gamelan pun berhenti. Dalam diam yang tegang, rapal dan kehendak ia pusatkan layaknya sebuah bidikan panah yang sejurus dengan arah tatapan matanya.
Ning melepas gerak, seperti busur panah yang memuntahkan anaknya. Sontak orang-orang lecut seperti ribuan anak panah yang berlari menuju Sang Raja.
Mereka menghunjamkan apa saja ke tubuh raja, bergelombang dan berganti-gantian. Dalam ketaksadaran massal itu, suara gamelan kembali mengalun dengan pukulan keras dan irama yang memuncak. Tari Amba Nitis Sewu telah sampai babak terakhir. Babak di mana tarian tunggal itu dilanjutkan oleh seribu orang yang tak sadar bahwa sedang memerankan pembunuhan secara kejam terhadap satu sasaran tubuh.