AKU masih ingat , hari ketika ibu dan saudara-saudaranya berkumpul di rumah nenek, Uni Siti melarang kami bermain cak–cak-pi .
“Hush! Kalian duduk atau kuambil sapu di dapur!” Ia memelototi kami satu-satu. Sementara orang-orang dewasa lainnya sibuk berbincang tanpa mempedulikan kami sama sekali.
Karena masih kecil, aku tidak terlalu mengerti apa yang sedang mereka bicarakan pada pertemuan malam itu. Yang jelas mamak Tando kulihat berkali-kali menunjuk ke langit-langit dengan gemeretak gigi menahan marah.
Entah apa yang membuatnya marah. Sementara ibu dan etek Jariah terlihat murung. Dan nenek, seperti beberapa hari sebelumnya, tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sepanjang pertemuan hingga akhirnya diputuskan hari yang tepat untuk membongkar rumah gadang nenek, beliau kulihat terus saja mengunyah sirih dengan gerakan yang sangat pelan, lalu meludah ke cawan perunggu yang akan selalu kau jumpai berada di sampingnya.
“Kenapa rumah nenek harus dibongkar?” Iman, kakakku yang terpaut usia dua tahun denganku bertanya pada Ibu begitu kami pulang malam itu.
Ibu menghela napas panjang. “Ya, karena sudah saatnya dibongkar,” ia menjawab sekenanya.
“Rumah nenek masih bagus…” Kakakku menimpali, seakan tak puas dengan jawaban yang diberikan Ibu. Atau bisa jadi ia tahu belaka bahwa Ibu berbohong.
Rumah nenek memang masih sangat bagus dan kokoh. Tiang-tiangnya masih terlihat gagah dan licin. Dindingnya masih kuat, dan meski ada beberapa bagian yang dimakan rayap, tetap belum perlu diganti.
Ukiran-ukiran dengan warna menyala yang menghiasi dinding di bawah jendela bagian luar tampak masih rancak. Kami, maksudku aku, Iman dan cucu-cucu nenek yang lain, suka sekali bermain kejar-kejaran di rumah nenek dan jelas lantai kayunya terbukti kuat menopang semua beban yang ada.