Sali Menuntun Sapi
CERPEN BUDI WAHYONO
Dia kembali sibuk dengan tugas rutinnya. Melepas ban dalam, memompa, merambang ke air, menandai dengan coblosan biting atau batang korek api, mengelapnya, mengerok sebentar, meleleti lem, dan menembelkan guntingan. Tidak lupa pengepres tambalan disulut dan kembali Pak Sali melamun. Sekitar lima belas menit ban akan matang.
***
ANEH. Dalam lamunan Sali, yang paling dia dengar justru gaung suara ibu-ibu rempong yang kemarin arisan dasawisma di rumah Sukro. Beberapa ibu pamer kalau mereka sudah menyumbang masing-masing satu ekor untuk korban di masjid kampung.
Mereka melacak berita itu dari WA grup. Tercatat Bu Juni, Bu Bagus dan Bu Herjun. Dan kemampuan berkorban itu, konon sudah berjalan empat tahun secara berturut-turut. Ibu-ibu yang lain juga pernah menyumbang kambing, tetapi tidak dapat setiap tahun.
Sangat mungkin mereka berganti menyumbang di kantor atau di kampung asal usulnya. Perhitungan primordial atau malah mungkin sekadar urusan gengsi terlanjur dipertaruhkan.
“Lha tetangga baru kita itu sudah pernah menyumbang kambing korban belum ya?” Bu Juni yang kesohor suka pamer seperti menegur. Terbayang beberapa orang menunduk. Mereka paham pertanyaan retoris itu dihunuskan kepada sosok Sali, orang baru yang tiba-tiba nongkrong punya rumah bagian pinggir.
“Kelihatannya belum… dia kan baru beli rumah bulan lalu. Beda dengan kita, sudah bertahun-tahun bermukim di sini…” jawaban itu memberi alasan. Rasa sinis berdengung seperti bunyi tawon yang memutar di kiri-kanan telinga tuanya. Tanpa henti susul-menyusul.
“Kasihan… kalau sudah berumur tetapi belum memiliki kesadaran berkorban,” timpal Bu Herjun. Rerasan berkembang jauh. Pak Sali yang telinganya terhitung normal, merasa gatal dengan gunjingan itu.