Kisah Reporter Istana Presiden Masa Soeharto
Ada lagi yang dilarang untuk disiarkan pers nasional, yakni masalah-masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Alasannya, ini mempunyai potensi untuk menyulut kerusuhan, mengganggu ketertiban umum, menggoyahkan stabilitas nasional, menggagalkan pembangunan nasional serta mengancam persatuan dan kesatuan NKRI.
Nah, tentang penyiaran isu-isu SARA ini, Parni Hadi mengaku setuju, bahkan sampai sekarang. Tentu saja dengan catatan. “Sekarang kita bisa saksikan, isu-isu SARA yang disiarkan media massa dengan mudah menyulut kerusuhan yang lebih besar. Ingat kasus Ambon dan Poso,” tandasnya.
Menurut Parni Hadi, pemberitaan seperti itu tidak atau hampir tidak terjadi di jaman Pak Harto. Penyebabnya, katanya, karena ABRI mengontrol habis semua bidang kehidupan dan pers dilarang untuk menyiarkannnya.
Lalu di mana letak catatan Parni Hadi? Dia mengatakan setuju, pemberitaan mengenai isu-isu SARA harus mempertimbangkan secara seksama dan bijaksana dampaknya bagi keamanan, persatuan dan kesatuan bangsa seperti yang termaktub dalam Kode Etik Jurnalistik.
Isu-isu SARA, menurut Parni Hadi, tetap dapat disiarkan, tapi hendaknya bertujuan untuk mendamaikan pihak yang bertikai, menuju penyelesaian konflik. Ini menyangkut pilihan narasumber, judul, angle, pemilihan kata-kata (diksi), pemuatan foto, penempatan di halaman/waktu tayang dan panjang pendek tulisan/durasi tayang.
Parni Hadi beralasan mengapa isu-isu SARA tetap perlu disiarkan. Menurutnya, agar pemerintah dan masyarakat luas tahu dan mengambil sikap antisipatif atau berjaga-jaga, waspada, mencegah agar peristiwa itu jangan sampai terulang kembali.