Peneliti: Tradisi Larung Sesaji Bisa Dijelaskan Ilmiah

Editor: Koko Triarko

JAKARTA – Budaya larung banyak ditemui di masyarakat pesisir selatan Jawa. Walaupun terkesan tidak ilmiah, tapi sebenarnya larung ini merupakan perwujudan pengetahuan masyarakat berdasarkan cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, dan berkembang menjadi yang disebut kearifan lokal.

Peneliti Pusat Riset Kelautan, Aida Heriati, MT., menyatakan kearifan lokal masyarakat Indonesia menunjukkan nilai budaya yang sangat tinggi, yang diturunkan secara turun menurun.

“Salah satunya adalah larung sesaji, yang dikenal dengan nama Taber Laot, Muang jong, Nadran, Petik Laut maupun Nyepi Segara. Kesemuanya memiliki makna yang sama, yaitu rasa syukur, perlindungan, keselamatan, kesehatan, rezeki dan penghormatan dan dilakukan pada saat yang sama, yaitu 15 Suro, yang bertepatan dengan bulan purnama sempurna,” kata Aida, dalam Sarasehan Kelautan, Selasa (29/9/2020).

Peneliti Pusat Riset Kelautan Aida Heriati, MT., saat menjelaskan kegiatan larung secara ilmiah, pada Sarasehan Kelautan, Selasa (29/9/2020). –Foto: Ranny Supusepa

Dalam kaitannya dengan bulan purnama sempurna dan lokasi penyelenggaraan larung, ternyata larung ini memiliki mekanisme yang bisa dijelaskan secara ilmiah.

“Walaupun saat tradisi ini awalnya dilakukan, teknologi yang ada belum bisa menjelaskannya secara ilmiah,” ucapnya.

Dilihat dari waktunya, yaitu saat bulan purnama sempurna, yang jika dikaitkan dengan sifat air yang bereaksi pada energi magnetik Bulan dan tubuh manusia sendiri, 70 persennya adalah air, dipercaya bahwa pada masa ini merupakan masa paling tepat dalam mengumpulkan energi positif.

Lihat juga...