Suka Duka Usaha Peti Mati di Tengah Pandemi

Redaktur: Muhsin Efri Yanto

“Saya tidak punya modalnya, jadi saya tolak. Soalnya pembayaran di belakang, 1-2 bulan baru bisa cair,” tegasnya.

Kini dirinya hanya bisa pasrah, sebab saat ini banyak kematian yang berstatus covid-19, sehingga semua ditangani rumah sakit.

“Sekarang hanya bertumpu pada kematian non-covid, meski jumlahnya sedikit. Kalau tidak covid kan, diurus keluarga. Jadi masih ada kesempatan, konsumen datang kesini,” terang Tri Wahono.

Dipaparkan untuk peti kemas, termasuk kain kafan, bunga hingga nisan, dijualnya sepaket Rp1,4 juta. “Ya, pasrah saja sekarang. Harapannya, corona biar cepat berlalu, biar pedagang kecil seperti saya ini bisa tetap bertahan,” tegasnya.

Nasib berbeda dialami, Emy Widiarsih, pemilik toko Cahaya Dirgantara di kawasan Menoreh Raya Semarang.

Dirinya mengaku dalam sebulan, setidaknya mampu menjual sebanyak 20 peti mati.

“Sebelum pandemi, paling 4-7 peti yang terjual setiap bulan, tapi saat ini banyak permintaan, terutama dari sejumlah rumah sakit,” ujar Emy.

Dijelaskan, permintaan tertinggi pada bulan Juli-Agustus 2020 lalu.

“Untuk khusus covid-19 memang berbeda, dengan peti mati umumnya. Jadi harus diberi lapisan dalam khusus, seperti dilapisi plastik atau aluminium foil,” imbuhnya.

Dirinya bahkan sampai meminta pekerjanya lembur, untuk bisa memenuhi permintaan tersebut.

“Dari rumah sakit pemesan, sudah ada standar persyaratan, kita tinggal menyesuaikan. Sementara, untuk bahan dari kayu durian, nangka, rambutan, dan lainnya,” tambahnya.

Sedangkan untuk harga jual dikisaran Rp1,5 juta sampai Rp3 juta. Angka tersebut hanya untuk peti mati, jika ditambah perlengkapan lainnya, seperti kain kafan, hingga batu nisan, harga pasti bertambah.

Lihat juga...