Upaya Menyejahterakan Petani di Tengah Pandemi

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mencatat setidaknya beras petani harus melalui empat hingga enam pelaku distribusi sebelum sampai di tangan konsumen. Alih-alih menjual kepada Bulog, banyak petani yang pada akhirnya lebih memilih menjual hasil panen kepada tengkulak.

Petani pun tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar. Alhasil, petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker.

Pandemi COVID-19 tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat, tetapi juga berimbas pada hasil panen yang belum terserap secara maksimal di pasaran.

Serikat Petani Indonesia (SPI) melaporkan bahwa kondisi petani sayuran, terutama di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, cukup memprihatinkan karena penjualan hasil panen mereka menurun drastis pada beberapa bulan terakhir.

Salah satu petani sayuran asal Caringin, Sukabumi Jawa Barat, Dadun menyebutkan bahwa harga sejumlah sayur, mulai dari kol, sawi putih, sawi hijau yang semula dihargai Rp3.500 per kilogram, turun drastis menjadi Rp250 hingga Rp150 per kg.

Jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan memberatkan petani dan berimbas pada produksi selanjutnya, sebab hasil panen yang didapat tidak sebanding dengan biaya produksi.

“Dari upah untuk mencangkul, biaya pupuk, dan sebagainya, bahkan tenaga sendiri tidak dihitung. Sementara hasil panen yang didapat dari 1 ton panen hanya Rp150.000, ini sangat-sangat tidak sebanding, sangat mengkhawatirkan,” kata Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah.

Lihat juga...