Dampak Hari Tanpa Bayangan Suhu Udara Makin Terik

Editor: Koko Triarko

Iis menjelaskan, posisi Indonesia yang berada di sekitar ekuator, juga menyebabkan kulminasi tersebut terjadi dua kali dalam setahun, yakni di bulan Februari dan Oktober.

“Kejadian yang biasa terjadi, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir, namun meski demikian, kita tetap mengimbau agar tetap mewaspadainya. Hal ini berkaitan dengan kenaikan suhu udara yang menyertai fenomena ini,” paparnya.

Tingginya suhu dikhawatirkan akan berpengaruh pada kondisi kesehatan tubuh, sehingga pihaknya mengimbau agar masyarakat mencukupi kebutuhan air dalam tubuh, hingga memperbanyak vitamin untuk menghindari dehidrasi atau kekurangan cairan.

Tingginya suhu juga berpengaruh pada kuantitas penguapan ai,r sehingga bisa memunculkan hujan.

“Itu sebabnya, muncul musim pancaroba, jelang pergantian dari kemarau ke penghujan. Ini juga patut diwaspadai, dari pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudra Pasifik, Ekuator menunjukkan anomali iklim La-Nina sedang berkembang, berpotensi memicu terjadinya bencana hidro-meteorologis seperti banjir dan tanah longsor,” tegasnya.

Hal senada juga disampaikan Kepala BMKG Stasiun Klimatologi Kelas 1 Semarang, Tuban Wiyoso.

“Hari tanpa bayangan terjadi manakala altitude matahari tepat 90 derajat, sehingga matahari tepat berada di titik zenith, yakni titik tertinggi yang bisa dicapai peredaran benda langit,” terangnya.

Selain kenaikan suhu, hal tersebut juga memicu peningkatan curah hujan, sehingga masuk musim pancaroba. BMKG pun meminta masyarakat untuk mewaspadainya.

“Memasuki musim pancaroba, cuaca ekstrem bisa saja terjadi, seperti hujan lebat tiba-tiba dengan intensitas sedang-lebat, dalam durasi pendek, juga dapat disertai angin kencang dan petir,” pungkasnya.

Lihat juga...