Membela Siapa?

OLEH: LUDIRO PRAJOKO

NEGARA harus memonopoli alat-alat koersi, kata Weber. Lalu, dikuasakan kepada militer, juga polisi. Bangsa ini memang memiliki pengalaman dengan polisi sejak zaman kolonial Belanda, juga zaman Jepang. Tak perlu dikisahkan: mereka memang bengis.

Repressive State Apparatus (RSA), kata Althusser, yang berfokus pada kecakapan dan tindakan represif berpola militer, dalam rangka reproduksi kapitalis. RSA tunduk pada komando, perintah pimpinan. Acapkali melebihi ketundukan kepada Tuhan.

Pimpinan tunduk patuh, mengomando seturut kehendak pemerintah. Karena pemerintah wujud dari negara, dan negara wujud dari kehendak rakyat.

Benar, dari rakyat itulah pemerintah muncul. Tapi, selanjutnya terjadi semacam silogisme, kesesatan berpikir: tindak represif RSA merupakan manifestasi kehendak pemerintah yang kongruen dengan kehendak negara.

Filsafat politik memang berupaya membuat dunia manusia yang memiliki hasrat kuasa dapat dipahami dan terasa indah. Sampai kita menyaksikan ada yang tak beres dalam logika: Pemerintah = Negara = Rakyat.

Pemerintah, dibanyak tempat, hampir selalu meluncur menjadi penguasa.

Pada zaman Orba dulu, militer, khususnya AD, menjadi garda depan penjaga dan pembela penguasa yang dikomandoi Pak Harto. Sedemikian rupa, sehingga Indonesia kokoh sebagai NOB (Negara Otoritarian Birokratik), yang bertumpu pada ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Waktu itu Golkar bukan parpol, tapi lebih menyerupai waduk yang menampung hasil jaring kooptasi.

Untungnya, Pak Harto tidak membahayakan negara. Sikap beliau sangat keras terhadap komunis, melindungi kedaulatan negara dan bangsa, sangat peka terhadap hal-hal yang berbau SARA. Warga keturunan Tionghoa hanya boleh berdagang dan menjadi kaum profesional. Dihalau dengan cemeti agar menjauh dari gelanggang berebut kursi.

Lihat juga...