Pendulum
OLEH: LUDIRO PRAJOKO
ADA suatu masa, dalam rentang yang cukup lama, ketika negara-negara Eropa yang sudah lebih dulu maju dipicu revolusi industri, beradu hebat menjajah bangsa-bangsa lain.
Suatu waktu, hampir semua manusia di berbagai belahan bumi, sibuk menyelenggarakan perang. Sejarah mencatatnya sebagai Perang Dunia 1 dan 2.
Sejauh berkenaan dengan “kita”, sejarah mencatat pengalaman kita sebagai bangsa yang dijajah. Juga ada catatan secukupnya terkait PD 2, khususnya pada seksi Perang Asia Timur Raya. Catatan penting yang perlu sering-sering direnungkan: rangkaian peristiwa, kumpulan faktor, katakanlah pada kurun 20 tahun terakhir, yang berujung keberhasilan bangsa kita memerdekakan diri.
Salah satu yang penting dicermati: munculnya anak-anak bangsa yang cerdas, sebagian layak disebut genius, berani melawan angkara murka kolonial, berkomitmen kuat memerdekakan bangsanya, tulus ikhlas dalam berjuang. Lalu, mereka berkumpul di Batavia, Bandung, Surabaya. Sebagian di negeri Belanda. Serempak bergerak menuju: Indonesia merdeka.
Tentu tidak semua anak bangsa yang cerdas-genius, memiliki keberanian dan komitmen memerdekakan bangsanya. Anak bangsa yang pertama meraih gelar doktor (Sejarah) di Universitas Leiden, dengan prestasi akademik yang sangat mengagumkan, memilih memihak kepada kolonial. Ia mengawali karier intelektualnya sebagai asisten riset ketika Snouck Hurgronje meriset Islam dan umat Islam di Arab Saudi, untuk keperluan merumuskan strategi kolonial menaklukkan bangsa Aceh.
Ilmu sejarah menjelaskan peristiwa-peristiwa itu dengan beragam perspektif. Tampaknya, perspektif trans-generational memberikan penjelasan yang lebih memadai. Ringkasnya, berbagai faktor sosial, ekonomi, politik, pada tataran lokal-nasional dan internasional, bekerja sedemikian rupa sehingga peristiwa-peristiwa itu memang harus terjadi. Keberadaan tokoh tentu penting, tetapi bukan faktor deterministik.