Pendulum
OLEH: LUDIRO PRAJOKO
Pendekatan trans-generational, tampaknya mengisyaratkan adanya semangat zaman . Orang Jerman menyebutnya zeitgeist . Gold, Glory, Gospel menjadi semangat zaman yang menghadirkan kolonialisme. Rasa keunggulan ras, ideologi, dan prestasi teknologi persenjataan, menjadi semangat zaman Perang Dunia. Membangun dunia baru dan kehendak untuk merdeka bangsa-bangsa terjajah, menjadi semangat zaman pasca PD 2.
Apakah komponen yang menyusun kehendak untuk merdeka? Tak terbantah: kesanggupan berkorban jiwa raga, kebersamaan, tulus ikhlas, keberanian, … yang bertemu dengan ide tentang kebebasan, keadilan, persamaan, kesejahteraan, … yang menyatu dalam diri sang tokoh: sekelompok pelaku yang tampil setelah melalui seleksi semangat zaman.
Lalu, apakah zeitgeist kita dewasa ini? Sosiologi modern tampak kikuk memerlakukan Ibnu Khaldun. Di satu sisi, tak dapat dielakkan, Ibnu Khaldun harus ditetapkan sebagai bapak sosiologi modern, karena dari Ibnu Khaldun-lah sosiologi modern bermula. Di sisi lain, teori perubahan sosial yang dikonstruksi Ibnu Khaldun, kemudian disebut teori siklus, dianggap tidak ilmiah untuk ukuran sosiologi modern.
Ibnu Khaldun memang mengemukakan ikhwal perubahan sosial melalui 4 tahap yang terus berputar secara siklis: dilahirkan, dibangun, dimatangkan, dan dihancurkan, untuk selanjutnya dilahirkan kembali, …. Dan, bangsa Cina memercayai perputaran 4 generasi itu, sehingga menghindari simbol angka 4 yang dianggap sebagai alamat kerusakan, kehancuran.
Boleh jadi, dewasa ini kita sedang berada pada tahap ke-4 dan kita dipilih oleh semangat zaman sebagai generasi yang menghancurkan. Itulah sebab mengapa kita gemar dan gencar: korupsi, mengacak-acak sendi-sendi kehidupan bernegara, mencederai demokrasi, menguras dan merusak SDA, …. Semua laku itu telah menjadi keumuman. Hannah Arend menyebutnya: banalitas. Sampai kita tak lagi memiliki rasa percaya bahwa masih tersisa manusia Indonesia yang tidak akan melakukan itu.