Singensumonar
CERPEN YUDITEHA
SIANG di Gunung Banyak. Matahari persis di atas kepala. Hawa panas menyengat serasa menjalar lewat ranting-ranting kering. Daun-daun yang berguguran berperan sebagai pembawa pesan kekeringan.
Meski di dalam hutan, tapi sinar matahari saat itu dapat menerobos di sela-sela pohon menjulang tinggi yang daunnya jarang. Tanah kerontang dan pohon meranggas memberi isyarat musim apa yang sedang terjadi.
Jika melihat kondisi di sekitar Gunung Banyak memang seperti tak ada harapan, tapi tekad Wanggi dan anak buahnya sangat besar. Segala bentuk fisik alam tidak dipandang sebagai halangan. Mereka ingin membuat daerah gersang itu menjadi tempat hunian yang nyaman.
Telah tiga pekan Aryasuta (teman seperjuangan mereka) dimakamkan di gunung itu, tapi aura duka masih terpancar dari wajah Wanggi dan anak buahnya. Namun mereka tidak ingin kesedihan itu sampai menenggelamkan tekadnya untuk terus bersemangat menjalani hidup.
Tekad itu sudah bulat. Mereka ingin menciptakan hidup lebih baik, mandiri dan berjuang membela kebenaran. Saat itu mereka sedang membuat bangunan sederhana yang akan mereka gunakan sebagai tempat markas perjuangan. Mereka menamai tempat itu Padepokan Singensumonar.
Nama Singensumonar diambil dari suku kata nama-nama desa yang mengitari Gunung Banyak: Gesi, Tangen. Sukadana, Mondokan, dan Jenar.
Di Padepokan Singensumonar itulah Wanggi beserta anak buahnya melatih ilmu kanuragan dan daya batin. Gunung Banyak identik dengan tempat yang keras karena tanah di sana hampir semuanya berupa padas berwarna kekuning-kuningan.
Dari alam yang keras itu Wanggi dan anak buahnya bertumbuh menjadi orang-orang yang sarat keprihatinan. Wanggi ingin melatih anak buahnya tumbuh menjadi generasi ulet, tangguh dan mandiri. Tidak mudah menyerah pada keadaan.