Pekerjaan Bapak Saat Pandemi
CERPEN RISEN DHAWUH ABDULLAH
SORE telah datang. Aku pulang karena rasa lapar menghampiri perutku setelah hampir setengah hari ini aku bermain bersama teman-teman.
Hari ini hari Sabtu. Sekolahku diliburkan, sampai pada waktu yang tidak ditentukan akibat pandemi korona. Hampir setiap hari, ibu bercakap-cakap dengan bapak membahas korona.
Di televisi hampir setiap saat ada berita mengenai korona. Aku hanya tahu korona sebatas nama virus. Aku tidak punya keinginan untuk mencari tahu lebih dalam mengenai virus tersebut.
Libur sekolah ini kuanggap sebagai keberuntungan, meski sebenarnya tidak pantas disebut libur, sebab nyatanya ada sekolah online dengan durasi waktu tidak seperti saat sekolah biasanya —lebih sedikit.
Aku melangkah menuju dapur. Rumahku tidak besar dan terletak di kota. Rumahku terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, serta kamar mandi. Kubuka panci dan wajan yang ada di atas kompor gas. Panci dan wajan tidak ada isinya. Sementara rasa lapar kian menggerus perutku.
“Ibu belum masak?” tanyaku menghampiri ibu. Aku menatapnya. Ibu tersenyum. Ia mengelus kepalaku.
“Bapakmu menyuruh ibu untuk tidak memasak,” jawabnya. “Maka dari itu, tadi pagi dan siang ibu membeli makan di angkringan Pak Nur.”
“Aku lapar sekali, Bu. Kalau begitu aku minta uang saja untuk beli makanan.”
“Ibu juga lapar. Sebentar lagi bapakmu pulang. Kamu bisa meminta uang darinya. Ibu sudah tidak punya uang. Uang yang ibu pegang ya sudah digunakan untuk beli makan pagi dan siang itu tadi.”
Aku berlalu dan membanting pintu kamar. Aku meringkuk di atas tempat tidur, dengan kedua tangan memeluk perut. Aku tidak habis pikir dengan ibu, menyiapkan makanan adalah tugasnya. Aku tidak bisa menerima alasan ibu tidak punya uang.