Pekerjaan Bapak Saat Pandemi
CERPEN RISEN DHAWUH ABDULLAH
Mestinya ibu sekalian meminta uang untuk beli makan sore —di keluargaku tidak ada makan malam. Rasa-rasanya aku ingin mendesak ibu untuk utang ke warung Mbok Sarmi. Aku sudah begitu lapar. Namun itu tidak mungkin. Pasti ibu menolak. Ibu tidak pernah mau berutang.
Satu setengah bulan yang lalu, bapak dipecat dari pekerjaannya sebagai sopir di sebuah katering. Aku tidak tahu penyebabnya. Aku bertanya pada ibu, tapi ibu tidak menjelaskan apa-apa, dan menunjukkan raut wajah tidak suka.
“Bukan urusanmu,” ucapnya.
Sepengetahuanku, semenjak bapak dipecat, ia belum mendapatkan pekerjaan. Semenjak bapak dipecat, rutinitas berjalan seperti biasanya, nyaris tidak ada yang berubah.
Di pagi hari, kami makan bersama. Bapak akan memberiku uang saku saat aku akan berangkat sekolah. Pada saat aku pulang, bapak pasti sedang tidur. Padahal bapak belum memperoleh pekerjaan, tapi setiap kulihat saat tidur, wajahnya tampak begitu kelelahan.
Sebulan kemudian bila dihitung dari hari pemecatan bapak, tersiar berita, ada yang positif terkena korona —sebelum itu negara-negara di dunia sudah banyak yang terkena korona.
Seminggu kemudian jumlahnya bertambah, meningkat begitu pesat. Virus ini begitu cepat menular. Atas perintah dari pemerintah, sekolah diliburkan. Pembelajaran akan beralih ke online. Aku senang bukan kepalang.
Bapak sama sekali tidak pernah menyuruhku untuk diam di rumah, seperti apa yang dilakukan kebanyakan orang. Ibu berkebalikan dengan Bapak.
Pemerintah terus menyerukan untuk menjaga jarak saat berinteraksi minimal satu meter, cuci tangan menggunakan sabun sesuai standar organisasi kesehatan dunia, mengurangi keluar rumah, melakukan pekerjaan di rumah, sebisa mungkin tidak pulang kampung bagi yang merantau, dan segala hal yang bisa dilakukan untuk menekan penyebaran korona.