Pekerjaan Bapak Saat Pandemi
CERPEN RISEN DHAWUH ABDULLAH
Telingaku tidak menangkap suara gemericik air, yang kutangkap malah suara orang berbicara—kamarku dengan kamar bapak-ibuku bersebelahan. Aku meletakkan hpku. Suaranya begitu lirih, namun aku masih bisa mendengarnya.
“Semakin sepi saja, Bu. Tadi saja waktu aku pulang, keadaan sudah seperti kota mati, Bu.”
“Korona semakin parah, di provinsi kita saja yang terjangkit sudah tiga puluh lima orang. Orang semakin takut keluar rumah. Tempat ramai tentu sudah banyak yang ditutup.”
“Keadaan ini sungguh tidak menguntungkan sekali. Aku harus lebih berhati-hati, sebab peluang kena semakin besar. Korona benar-benar tidak menguntungkan, bagi orang sepertiku, Bu.”
“Hati kecil ibu sebenarnya mengatakan, bapak jangan pergi. Apa yang bapak lakukan juga membahayakan nyawa, Pak.”
“Kalau tidak pergi, bagaimana nasib kita? Untuk saat ini, hanya ini satu-satunya yang bisa bapak lakukan.”
“Pak?”
Percakapan mereka kemudian berhenti. Aku menunggu. Kutajamkan telingaku. Aku berharap bapak dan ibu kembali mengeluarkan suara. Kutunggu. Hening.
Aku masih menunggu, barangkali di dalam masing-masing dari mereka sedang memikirkan sesuatu untuk diutarakan. Aku masih menunggu, sembari mencoba memahami sekaligus mencari jawaban terhadap apa yang mereka katakan.
Tidak terasa. Lima menit telah berlalu. Hening masih menguasai. Jawaban tidak kutemukan. Hingga sepuluh menit lamanya, masih tetap hening.
Aku menjadi takut. Jangan-jangan bapak atau ibu mengetahui kalau aku belum larut dalam mimpi. Dengan sangat berhati-hati, aku merebahkan diri. Kutarik selimut. Aku pura-pura terpejam.
***
PAGI ini serasa datang lebih cepat dari pagi-pagi yang lain. Semalam, setelah aku terus berpikir dan tidak menemukan jawaban, hari ini aku memutuskan untuk nekad mengikuti bapak, dengan cara keluar rumah lebih dulu —semalam aku baru bisa tidur sekitar pukul satu.