Pekerjaan Bapak Saat Pandemi

CERPEN RISEN DHAWUH ABDULLAH

Televisi pagi ini tidak menyala. Token listrik menipis. Bapak dan ibu sarapan tanpa disuguhi berita perkembangan korona. Aku sendiri sudah di rumah temanku. Pukul delapan. Aku menanti pukul sembilan. Aku berharap bapak lewat depan rumah temanku, tidak lewat jalan lain.

Dan harapanku terwujud. Bapak lewat depan rumah temanku dengan jalan kaki. Bapak memang selalu jalan kaki. Aku melihatnya dari dalam rumah lewat jendela. Dadaku berdebar. Jantungku berdebar.

Kira-kira bapak sudah melangkah agak jauh dari rumah temanku, aku pamit. Saat aku di pinggir jalan, bapak masih terlihat. Kini aku berada di jalan besar. Sebuah jalan menuju titik nol kota. Langkahku terus mengikuti bapak. Bapak tidak juga menoleh ke belakang.

Perjalanan bapak lumayan jauh juga. Perjalanan itu menguras tenagaku. Aku cukup letih juga. Aku berada di titik nol kota. Bapak menuju ke arah pasar yang ada di dekat titik nol kilometer.

Suasana sepi sekali. Tapi masih ada orang yang jalan-jalan, rata-rata mengenakan masker. Bapak masuk ke dalam pasar. Apa bapak bekerja sebagai kuli panggul?

Di gerombolan ibu-ibu bapak berhenti. Mungkin pekerjaan bapak berhubungan dengan ibu-ibu itu. Aku cukup memperhatikan dari jauh. Aku ingin keadaan aman. Tangan bapak bergerak. Tapi mendadak seorang perempuan berteriak.
“Copet… copet…”

Aku mencari arah suara itu. Saat pandanganku kembali pada di mana bapak berada, bapak berlari. Aku berlari mengikuti bapak, hingga aku keluar dari pasar.

Aku kehilangan jejak bapak. Ke mana arah lari bapak? Mengapa bapak berlari? Tiba-tiba aku menggelisahkan sesuatu. Bapak menghilang di saat teriakan itu muncul. Apa bapak seorang copet?

Lihat juga...