Quo Vadis

OLEH LUDIRO PRAJOKO

SETELAH berulang kali diprotes melalui aksi demo (buruh, mahasiswa, masyarakat luas), pernyataan resmi kalangan akademisi, organisasi kemasyarakatan, Presiden tetap meneken Omnibus Law. Naskah UU itu memuat kesalahan. Menurut sejumlah pihak: serius, fatal (salah satunya: skandal pasal 5). Tapi, Menko Polhukam, profesor hukum tata negara, dengan renyah membantah: salah ketik, katanya. Menko yang cerdas memang selalu bisa menyelesaikan persoalan rumit, pelik, menjadi sederhana. Tampaknya, beliau sudah tak berurusan dengan makna, hakikat, kaidah hukum.

Pemerintah berkelahi dengan rakyatnya. Jerat-tangkap-borgol, menjadi jurus andalan. Tentu, Pemerintah menang. Pemerintah terbukti punya pikiran dan kehendak sendiri, tak harus bersanding lurus dengan pikiran dan kehendak rakyat. Jangan-jangan, ilmu negara-politik mengandung kebohongan.

Lingkungan sosial kaya humus, menyebar-suburkan benih kebencian. Tidak hanya lintas kelompok, juga di dalam kelompok. Seorang lelaki menyinyiri Gubernur DKI dengan memanfaatkan peristiwa kepulangan HRS yang disambut gegap gempita.

Ia menulis propaganda dunia bawah tentang pribumi yang disinggung dalam pidato Sang Gubernur. Sepanjang tulisan itu, Arab dipukuli dengan pentungan kayu yang dipaksa menjadi logika. Aneh, bila si penulis tak paham sejarah. Namun, segera jelas, tulisan itu memang dibaktikan untuk membakar sentimen ras.  Jagad perbincangan tak hirau, agama dan umat, khususnya Islam, dijadikan isu kuat, bertahan lama, bulan-bulanan.

Terbayang selapis generasi: mereka yang sudah akil balig pada dekade terakhir Orde Baru.  Bila harus merefleksi secara jernih, tentu mereka sekarang dapat memahami represi-keotoriteran Pak Harto terkait isu SARA. Memang terlambat, tapi penting untuk mengakui: biaya yang ditanggung generasi itu akibat represi negara otoritarian birokratik Soeharto lebih kecil dari biaya yang harus dikeluarkan sebagai akibat ke-liar-an SARA. Demokrasi: meliarkan isu SARA menggunakan sarana represi, pasti hanya ada dalam karya tulis liga orang-orang dungu.

Lihat juga...