Harimau Jantan dari Kuantan

CERPEN AFRI MELDAM

Banyak yang menyampaikan duka cita, mengatakan betapa mereka juga merasa kehilangan Bapak, lalu menghibur kami dengan kata-kata yang menenangkan. “Mungkin memang sudah jalannya seperti itu, ikhlaskan. Dan kita yang ditinggalkan tentu berkewajiban untuk terus mengirimkan doa keselamatan.”

Namun, tak sedikit pula yang memberikan tuduhan menyakitkan. “Bapak kalian keras kepala, tidak mau mendengarkan imbauan Wali Nagari. Sudah berkali-kali disampaikan di masjid, surau, dan lepau, tapi dia menutup telinga. Dia takabur dengan ilmu yang ia miliki.”

Begitu Mak Katik mencecar kami suatu hari ketika segala upaya pencarian Bapak hanya berujung kesia-siaan. Jika kata-kata itu meluncur dari mulut orang lain, kami tentu saja telah menghantam mulut busuknya sekuat mungkin tenaga yang bisa kami keluarkan. Tapi Mak Katik adalah ninik mamak kami, penghulu suku, yang semua kata dan perintahnya harus kami indahkan.

Jika bukan karena hidup yang kian sulit, Bapak tentu tak akan pergi ke hutan, menerabas belukar penuh onak dan miang, berharap di suatu tempat di sana, ia bisa menemukan tandan-tandan jernang, sulur-sulur manau dan rotan yang membelit pepohonan, atau sarang-sarang lebah penuh manisan.

Tapi harga getah yang menjadi tumpuan hidup orang-orang di kampung kami jatuh sejatuh-jatuhnya ke angka paling menyedihkan, sementara pinang dan kakao tak mungkin dipetik sepanjang pekan.

Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan Bapak untuk mengasapi dapur dan mengirim uang sekolah kami, anak kembarnya yang waktu itu akan mengikuti ujian kelulusan dari madrasah tsanawiyah di Lintau selain mencoba peruntungan di sekitar hutan Lurah Sembilan?

Lihat juga...