Harimau Jantan dari Kuantan

CERPEN AFRI MELDAM

Jika Puti Jalito, grup randai yang didirikan Bapak, masih sesering dulu mendapat undangan tampil di acara-acara keramaian di kampung, tentu masih ada harapan yang bisa ia gantungkan. Tapi, setelah setiap hajatan besar selalu menghadirkan organ tunggal dengan musik berdentam-menggelegar dan penyanyi yang meliuk-liuk seperti ular kesurupan, siapa lagi yang mau membayar Puti Jalito untuk menunjukkan kebolehan?

“Sudah tahu hidup susah, tapi masih saja pongah. Tak pandai mengukur bayang-bayang badan!” Itu kata-kata penuh sembilu yang kami dengar dari ninik mamak pihak Bapak, yang sayangnya juga tak bisa kami balas dengan sebuah hantaman atau tendangan.

“Kalau dia menerima amplop itu, tentu bapak kalian tak perlu lagi susah payah pergi ke hutan.”

Ya, kami memang sempat mendengar Bapak menyinggung soal amplop itu ketika kami pulang beberapa pekan sebelum ia memutuskan pergi ke hutan. Bahwa sebuah perusahaan pengolahan kayu telah lama mencoba mendekati para ninik mamak di lima nagari di sepanjang aliran Batang Sumpu yang berhulu ke hutan di Lurah Sembilan.

Daripada terus menerus dibiarkan terlantar dan menjadi sarang harimau, alangkah baiknya kita mulai mengolah kayu-kayu di sana, begitu Bapak mengulang kata-kata perwakilan perusahaan.

Mereka menjanjikan persenan pembagian keuntungan, menyerahkan bantuan langsung untuk semua surau suku di lima nagari, dan, tentu saja, membagi-bagikan amplop berisi “uang pengganti kerja di ladang” kepada semua ninik mamak yang menerima undangan.

Banio, timbalun, modang kaladi, damar, dan pulai yang ada di Lurah Sembilan, menurut Bapak, hanyalah permulaan, sebagai pembuka jalan. Setelah pohon-pohon ditebangi, kawasan hutan yang memanjang hingga ke Kuantan itu tentu akan sangat sayang sekali jika dibiarkan kembali menjadi belukar yang ditelantarkan.

Lihat juga...