Saya bersikap pesimis pada masa depan bangsa ini seperti judul tulisan di atas, bukan lantaran membaca novel Ghost Fleet, akan tetapi karena mencermati dengan sungguh-sungguh berbagai indikator ketatanegaraan sekarang ini. Di tengah berbagai indikator ketatanegaraan yang bergerak negatif, sulit untuk saya bersikap optimis.
Pangkal muasal indikator ketatanegaraan bergerak negatif dimulai sejak sumber hukum utama bangsa ini yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dibongkar. Cita-cita para pendiri bangsa yang adalah “Negarawan Teruji”, terakumulasi dan terefleksi dalam UUD 1945. Sangat disayangkan, karya “genius” para pendiri bangsa tersebut, dibongkar oleh para “politisi” di Senayan, hingga bangsa ini kehilangan arah tujuan untuk menuju cita-cita kemerdekaan.
Saya memakai istilah dibongkar daripada diamandemen atau diubah karena batang tubuh UUD 2002 sudah tidak selaras dengan mukadimah. Dan dalam melakukan perubahan UUD, tidak dilakukan dengan cara addendum, yaitu: tetap mempertahankan naskah asli dan naskah perubahan diletakkan melekat pada naskah asli.
Seharusnya Disebut UUD 2002
Pembongkaran konstitusi dilakukan empat kali, dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Seharusnya UUD 1945 yang telah dibongkar, tidak lagi dapat disebut sebagai UUD 1945, akan tetapi disebut UUD 2002. Adalah suatu norma bahwa undang-undang yang mengalami perubahan maka tahun perubahan harus disebut melekat pada undang-undang yang diubah.
Contohnya, Undang-Undang (UU) No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, tahun disahkan UU itu jelas dicantumkan (1995). Undang-undang ini tidak berlaku lagi karena sudah diubah menjadi Undang-Undang No 17 tahun 2006. Jelas secara norma, tahun 2006 melekat atau dicantumkan pada UU No 17 tentang Kepabeanan (tidak lagi disebut 1995). Begitu pula norma yang seharusnya berlaku pada UUD 1945 yang sudah dibongkar, seharus disebut UUD 2002.