Mencermati biaya politik tersebut di atas, maka untuk para primus inter pares atau orang-orang terbaik dalam segi moral dan intelektual bangsa ini, tidak usah bermimpi untuk bisa ikut kontestasi pemilihan presiden jika tidak memiliki uang sebanyak tersebut di atas.
Ditambah lagi—meskipun UUD 2002 menyebutkan tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dilakukan “secara demokratis” (pasal 14, ayat 4, UUD 2002), namun frasa “secara demokratis” ditafsirkan oleh para politisi di Senayan sebagai pemilihan langsung oleh rakyat, sama dengan pemilihan presiden.
Sudah bukan menjadi rahasia umum bahwa untuk ikut pemilihan gubernur di Pulau Jawa membutuhkan dana lebih dari 100 miliar, sedangkan untuk menjadi bupati atau walikota, butuh dana puluhan miliar. Pada waktu La Nyalla Mahmud Mattalitti akan maju sebagai calon gubernur Jawa Timur melalui Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengatakan butuh dana paling tidak 300 miliar rupiah. Itupun paket hemat. (https://tirto.id/cDaA).
Dari mana calon kepala daerah memiliki dana sebesar itu? Maka tidak salah yang disebut Menko Polhukam Mahfud MD bahwa yang bertarung di pemilihan kepala daerah (Pilkada), sekitar 92% dibiayai oleh pengusaha besar atau pemilik modal.
Ijon politik yang dilakukan pengusaha besar atau pemilik modal, mengusung kepala daerah dalam Pilkada, akan berimplikasi negatif pada kebijakan kepala daerah tersebut jika terpilih. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), rente yang dipanen adalah berupa kolusi izin pertambangan, izin perkebunan, kemudahan izin-izin lainnya, perlindungan dan kemudahan usaha, serta konspirasi dalam tender proyek-proyek pemerintah.