Pembongkaran konstitusi membuat biaya politik menjadi tidak masuk akal, menjadi awal sikap pesimis saya—“Indonesia Tanpa Harapan”—kecuali ada kesadaran bersama semua anak bangsa untuk kembali ke jalan lurus, jalan pikir para pendiri bangsa: kembali ke UUD 1945.
Adapun untuk kembali ke UUD 1945 dapat dilakukan dengan dua cara, namun hampir muskil dapat dilaksanakan. Cara itu, pertama, melalui Sidang Umum MPR sesuai dengan pasal 37, UUD 2002. Akan tetapi cara ini sangat sulit untuk dapat dilakukan karena anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah anggota MPR—mereka telah berjuang habis-habisan untuk terpilih menjadi anggota DPD, tidak akan mungkin mereka mau kembali ke UUD 1945—karena, jika kembali ke UUD 1945, maka DPD bubar alias punah. Ditambah lagi, dari sembilan partai politik di Senayan, tidak satu partai pun yang secara terbuka menyatakan perlunya kembali ke UUD 1945.
Kedua, Presiden mengeluarkan dekrit seperti dilakukan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959: dekrit kembali ke UUD 1945. Namun harus dicermati situasi pada waktu itu hingga Presiden Soekarno memiliki legalitas untuk mengeluarkan dekrit. Situasi politik, ekonomi, dan keamanan pada waktu itu sangat tidak kondusif, sistem parlementer berdasarkan UUD 1950 dianggap gagal, dan UUD 1950 memberi ruang diskresi untuk Presiden mengeluarkan dekrit, karena itu, tidak ada perlawanan dari partai politik maupun civil society atas keluarnya dekrit tersebut, ditambah lagi Presiden Soekarno didukung penuh oleh militer pada waktu itu.
Sangat berbeda dengan situasi politik pada waktu Presiden Gus Dur mengeluarkan dekrit, yang akibatnya ia dimakzulkan. Mencermati situasi politik pada saat ini, hampir mustahil Presiden berani mengeluarkan dekrit jika tidak ingin nasibnya sama dengan yang dialami oleh Presiden Gus Dur.