UNICEF: 938 Anak Indonesia Putus Sekolah Akibat Pandemi
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Menurut Hiroyuki, anak-anak yang hanya mengikuti pembelajaran jarak jauh memiliki risiko lebih besar untuk putus sekolah, dikarenakan kurangnya fasilitas untuk belajar daring, serta terbatasnya pengawasan dari pihak sekolah.
“Saat ini mayoritas anak masih melaksanakan proses pembelajaran jarak jauh (64 persen), kemudian 28 persen sudah melakukan pembelajaran hybrid (tatap muka dan jarak jauh), dan hanya 8 persen saja yang mengikuti pembelajaran tatap muka,” papar Hiroyuki.
UNICEF sendiri menyarankan agar pembelajaran tatap muka dapat segera dilaksanakan, untuk meminimalisir potensi peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia.
“Kami sangat siap membantu pemerintah dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka, tentunya dengan memenuhi protokol kesehatan yang aman. Sebab secara global, diperkirakan ada 290 juta anak berpotensi putus sekolah akibat pandemi ini,” pungkas Hiroyuki.
Pada forum yang sama, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, menuturkan, bahwa belum optimalnya pelaksanaan pembelajaran jarak jauh berpotensi menurunkan kualitas akses pendidikan dalam rencana jangka menengah dan panjang nasional.
“Sangat amat perlu adaptasi sistem pendidikan untuk meminimalkan dampak negatif yang berpotensi meningkatkan jumlah anak tidak sekolah, dan bahkan anak berisiko putus sekolah,” kata Suharso.
Bappenas, kata Suharso telah bekerjasama dengan UNICEF dalam menyusun dokumen Strategi Nasional (Stranas) untuk menangani masalah anak tidak sekolah dan anak berpotensi putus sekolah.
“Stranas ditujukan untuk menghadirkan penguatan, perbaikan, perluasan, dan koordinasi yang lebih baik dan efektif dari berbagai program dan inisiatif pemerintah, serta masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak di Indonesia,” pungkas Suharso.