Waspadai ‘Stunting’ Akibat Penurunan Daya Beli Masyarakat
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
JAKARTA – Menurunnya tingkat daya beli masyarakat pada makanan yang bergizi membuat potensi bayi stunting semakin besar. Hal ini akan memperbesar risiko menurunnya kualitas anak, baik dari segi pertumbuhan otak dan risiko terpapar penyakit.
Spesialis Anak, Dr. dr. Wan Nendra, SpA, menyebutkan, stunting merupakan suatu kondisi anak tidak mencapai tinggi badan yang standar sebagai akibat kurangnya asupan gizi seimbang di masa awal kehidupannya.
“Stunting ini berkaitan dengan tinggi anak atau panjang bayi, yang dibandingkan dengan standar kurva pertumbuhan. Jika terjadi stunting maka akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak dan meningkatkan potensi terpapar penyakit degeneratif,” kata Wan Nendra dalam talk show online tentang stunting, Jumat (18/12/2020).
Ia menyebutkan kondisi stunting bisa didapatkan sejak bayi berada dalam kandungan atau saat setelah dilahirkan.
“Ibu yang anemia atau kekurangan gizi saat hamil bisa menyebabkan anak stunting. Sehingga penting untuk menjaga kualitas gizi ibu hamil. Bahkan sebelum seorang ibu hamil, tapi sudah merencanakan kehamilan sudah harus dijaga,” ujarnya.
Atau dalam kasus ibu yang mengalami hipertensi, bayi yang dilahirkan akan cenderung BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) yang mampu meningkatkan risiko stunting dua kali lebih tinggi dibandingkan bayi normal.
“Produksi ASI juga harus dijaga. Karena kurangnya asupan ASI bisa menyebabkan anak stunting. Begitu pula saat empat bulan, harus dievaluasi kondisi tinggi atau panjang bayi. Dan dilanjutkan saat anak berusia enam bulan,” papar Wan Nendra.
Wan Nendra menyebutkan ada dua dampak yang bisa terjadi jika anak mengalami stunting.