“ALLAH menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Fathir ayat 1).
Demikianlah ketika jasad Adam telah terbentuk secara sempurna, Allah berfirman:
“Wanafahtuhu fi hi min ruuhiy“. Ku-tiupkan padanya (Adam) ruh-Ku.
Kalimat ini dengan mudah dimengerti bahwa ruh bukan bagian dari “diri”. Sebab itu, dia bebas dari eksistensi diri, tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak dapat ditangkap oleh panca indera.
Qul ruuhiy min amri rabbi “Katakanlah bahwa ruh itu (bertugas menerima) perintah dari Tuhan-Ku”.
Atau “Katakanlah bahwa ruh yang berurusan dengan Tuhan-Ku”.
Dengan demikian ruh ini yang memiliki potensi memahami, mendengar, melihat. Kepada Tuhan-Nya, maupun kepada hamba-Nya.
Tanazzalul malaikatu warruhu fihaa, biisni rabbihim min kulli amrin
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
Ruh dalam ayat ini diartikan sebagai Malaikat Jibril, bersama malaikat yang lain atas izin Allah.
Mengisyaratkan bahwa ruh dan malaikat itu memiliki persamaan. Dalam hal ini malaikat “turun” atas izin Allah, sehingga bermakna sebagai “utusan” atau Rasul.
Dapat dikatakan bahwa “ruh” adalah utusan/rasul. Sehingga sebelum diutus dan ditempatkan sebagai duta di dalam diri, maka terlebih dahulu dia mengambil persaksiannya. Sehingga dia melalui diri-Nya, menjadi saksi atas ruh. Yang berarti mengharuskan diri-Nya memunculkan sifat alim (mengetahui).
Demikianlah ruh membawa sifat alim (mengetahui) itu sehingga biasa juga disebut dengan aql. Dan ketika disebut sebagai akal universal, dalam tradisi tasauf, itulah yang disebut dengan nurul Muhammad. Dan inilah yang ditiupkan kepada Adam. Suatu ruh yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menyebut seluruh “nama-nama” (aksiden). Dan ketika Allah mengatakan “Kami”, yang dimaksud adalah Dia beserta ruh dan para malaikat-Nya.