HKTI: Tren Impor Kedelai Konsisten Dilakukan
Redaktur: Muhsin Efri Yanto
JAKARTA — Ketua Umum Pemuda Tani Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI), Rina Saadah mengungkapkan, faktor utama rendahnya produksi kedelai dalam negeri karena lahan penanaman kedelai banyak mengalami transpormasi. Juga alih fungsi dan harus bersaing dengan tanaman lain, seperti padi dan jagung.
Faktor ini berdampak kepada para petani menjadi kurang tertarik untuk menanam kedelai.
“Rendahnya produksivitas, yakni dimana per 1 hektar tanaman kedelai cuma menghasilkan 2-2,5 ton per 100 hari. Inilah yang membuat petani tidak tertarik,” ungkap Rina, pada webinar tentang pertanian di Jakarta, Senin (18/1/2020).
Padahal, sebut dia, dengan luas lahan yang sama, jika ditanami padi itu dapat menghasilkan sekitar 5-6 ton padi per 100 hari.
Saat ini menurutnya, kebutuhan kedelai terus meningkat, tapi produksi dalam negeri malah menurun. Data Kementerian Pertanian (Kementan), tahun 2015 produksi kedelai hanya 963.183 ton, pada 2016 turun menjadi 859.653 ton.
Tahun 2017, angkanya anjlok di kisaran 538.728 ton, dan 2018 naik menjadi 982.598 ton dari target 2,2 juta ton. Dan tahun 2019 kembali turun di angka 480.000 ton atau 16,4 persen dari target 2,8 juta ton.
Sedangkan berdasarkan outlook pangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015-2019, tercatat produksi kedelai Indonesia terus menurun, rerata 1,49 persen per tahun.
Hal ini menurutnya, berbanding terbalik dengan konsumsi kedelai yang terus meningkat. Saat ini rerata konsumsi kedelai sebesar 6,59 kilo gram per kapita per tahun. Bahkan cenderung meningkat rata-rata 1,73 persen per tahun.
“Akibatnya, tren impor kedelai tak berubah bahkan memburuk hingga 2020. Saat ini harga kedelai di pasar global meningkat hingga 35 persen. Ini dampak dari negara China yang meningkatkan kuota impor kedelai sebesar 60 persen,” tukasnya.