Hutan Lapar

CERPEN LISWINDIO APENDICAESAR

MALAM itu adalah malam yang murung bagi si burung hantu. Sudah tiga hari dia gagal mendapatkan mangsa. Tubuhnya sudah demikian kurus akibat kelaparan tiga hari terakhir.

Dunia memang sedang dilanda krisis pangan, bukan cuma bagi manusia, tapi juga bagi hewan-hewan alam liar. Bencana kekeringan berbulan-bulan menyebabkan banyak pohon dan berbagai tanaman mati.

Akibatnya, banyak hewan pemakan tumbuhan mati kelaparan, yang berarti ini adalah bencana pula bagi pemangsanya. Si burung hantu tidak yakin dia bisa bertahan hidup hingga esok jika malam ini dia gagal lagi menemukan mangsa.

Dia sudah terbang ke sana ke mari, mencari-cari mangsa hidup yang kira-kira bisa dia buru. Dalam kondisi seperti ini, dia tidak lagi memilih-milih makanan. Bunglon, kodok, ular, apa pun akan dia kejar.

Sayangnya, tiga hari tanpa makanan membuat tubuhnya lemah. Dia tidak lagi cukup cepat untuk menangkap mangsanya sebelum mangsanya kabur, mempertahankan diri, atau bahkan dilahap predator lain. Malam semakin larut menuju pagi, dan si burung hantu masih kelaparan.

Ketika dia beristirahat di sebuah dahan pohon, dia mendengar ada suara tangisan di dekatnya. Tentu saja dunia satwa liar tidak mengenal hantu seperti manusia, mereka terlalu pintar untuk hal seperti itu.

“Tangisan ini pasti berasal dari seekor hewan. Tapi di mana? Aku yakin sebagai seekor burung hantu mataku cukup tajam, sedangkan sejak tadi aku tidak melihat ada hewan yang menangis di dekat sini,” pikir si burung hantu.

Dia berusaha memperhatikan lagi sekelilingnya dengan lebih teliti. Ke kanan, ke kiri, jauh ke depan, putar ke belakang, semua sudut diamatinya sambil didengarkannya baik-baik arah datangnya suara tangis tersebut.

Lihat juga...