Hutan Lapar
CERPEN LISWINDIO APENDICAESAR
Sampai akhirnya dia tersadar bahwa dia lupa melihat ke bawah pohon, dan di sana terdapat sebuah lubang berukuran sedang tapi cukup dalam.
Kekeringan dunia berbulan-bulan membuat struktur tanah bahkan di hutan sekalipun menjadi rapuh, mudah pecah dan seperti berpasir.
“Siapa pun yang jatuh ke dalam lubang itu akan sulit untuk keluar jika tidak mampu terbang,“ pikir si burung hantu.
Dia lalu terbang mendekati lubang tersebut dan menengok ke dalamnya. Terkejut dirinya menemukan seekor anak ular yang menangis sambil terus berusaha melata menaiki lubang itu. Tanah yang dipanjat langsung terberai setiap si anak ular berusaha melata naik. Si anak ular ketakutan dan menangis sambil berteriak, “Tolong! Tolong!”
“Apa yang kau lakukan di situ?“
“Tolong aku wahai burung hantu, aku tidak bisa keluar dari sini. Aku ingin pulang.“
Si burung hantu terdiam beberapa detik. Dia sama sekali tidak kasihan terhadap si ular kecil. Satu-satunya hal yang dia kasihani adalah perutnya dan hidupnya yang akan segera berakhir jika tidak mendapatkan mangsa malam ini.
“Aku akan menolongmu keluar dari lubang itu, tapi setelah keluar nanti, kau akan masuk ke dalam mulutku.“
“Aku mohon jangan makan aku. Aku masih kecil. Aku mohon,“ sahut si anak ular.
“Aku tidak peduli. Telah berhari-hari aku tidak makan. Jika malam ini aku masih belum mendapatkan santapan, aku bisa mati. Aku akan memakanmu.“
Tangisan si anak ular semakin keras. Hanya saja, kali ini dia tidak berusaha melata naik. Dia berusaha menjauhi permukaan lubang untuk menyelamatkan hidupnya dari si burung hantu.
Si burung hantu berusaha mematuk ular kecil itu dengan memasukpaksakan wajahnya ke lubang, tapi paruhnya tidak sampai. Lalu dia berusaha mencengkram si anak ular dengan kaki dan cakarnya, tapi si anak ular berhasil menghindar setiap kali dia hampir tertangkap.